Jumat, Desember 09, 2016

BANYAK CARA DALAM SHALAT

Saya buka dengan cerita yang terjadi pada pekan lalu setelah mengajar beberapa bapak tetanga-tetangga saya di masjid tempat tinggal saya tentang shalat menggunakan "Diktat Shalat" yang ditulis salah seorang ustadz saya dulu. Diktat ini memang ringkas, tetapi dalam tiap satu bahasan mencakup beberapa hadits yang menjelaskan beberapa macam cara yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Salah seorang bapak berkomentar bahwa bahasan yang disampaikan bagus karena menjelaskan "banyak cara" (maksudnya tidak terpatok pada satu cara saja). Tapi kemudian beliau bertanya, lalu adanya madzhab-madzhab itu bagaimana ya?

Saya kemudian jelaskan secara singkat bahwa ulama zaman dahulu, termasuk yang disebut sebagai para imam madzhab dulu, punya "keterbatasan" dalam mendapatkan hadits, tidak sama dengan zaman kita yang bisa mengakses hadits dengan mudah, misalnya dari kitab-kitab yang tercetak banyak (Bahkan ada perangkat lunak yang sudah mencakup semua kitab hadits!). Sekalipun begitu, hadits yang mereka kuasai jelas banyak, sementara orang-orang awam tidak banyak tahu. Nah, pada saat orang-orang awam itu butuh jawaban atas permasalahan mereka, bertanyalah mereka kepada para imam tersebut. Fatwa yang dikeluarkan itu kemudian diikuti oleh orang banyak. Akhirnya semakin banyak yang mengikuti fatwa-fatwa mereka. Nah jadilah ini sebagai madzhab.

Sebenarnya dalam acara belajar itu sempat saya sampaikan bahwa dengan belajar banyak hadits, akan dapat kita lihat bahwa Nabi sendiri untuk beberapa perkara mengajarkan banyak cara (misalnya dalam hal qiraat Al-Quran). Dalam soal shalat pun, ternyata dalam hal gerakan atau bacaan, ada cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan melihat fakta ini, kita mestinya tidak boleh begitu saja terpaku pada satu pemikiran. Ima m Ahmad bin Hanbal, sebagai murid Imam Asy-Syafi'i saja bisa berbeda pendapat (meskipun kedua-duanya sama-sama tawadhu' dan saling memuji). Dengan banyak belajar hadits (termasuk yang berbeda-beda), akhirnya kita kan tahu banyak hal, termasuk mudah memahami perbedaan pendapat. Tentu sebagai catatan dari saya: asal didasari oleh hadits yang shahih dan istinbath (cara pengambilan hukum) yang benar.

Mudah-mudahan pada sisa umur ini, kita semua masih dapat mempelajari hadits-hadits Nabi dengan lebih intensif lagi.

Aamiin.

Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Jumat, November 25, 2016

Belajar Itu Harus Sabar

Sekira dua pekan yang lalu, saat saya mengajar bahasa Arab kepada tetangga saya dan menjelaskan keterkaitan ilmu-ilmu agama secara sekilas, tetangga saya tersebut bertanya tentang bagaimana mempelajari ilmu-ilmu itu semua, apakah secara paralel, ataukah satu dahulu kemudian baru yang lain.

Saya kemudian menanggapi bahwa saya sendiri sebenarnya tidak suka menjawab pertanyaan seperti ini. Namun kemudian saya sampaikan bahwa bagi saya, belajar ilmu-ilmu agama itu prinsipnya kalau ada kesempatan belajar, ya ambil saja. Kenapa? Karena kesempatan belajar itu belum tentu ada lagi. Apalagi untuk ilmu-ilmu tertentu, katakanlah bahasa Arab dan tafsir Al-Quran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang banyak majlis ta'lim, tetapi kebanyakan majlis-majlis itu menyampaikan topik-topik yang tematik dan umum. Bukan berarti topik tematik tidak perlu dibahas, tetapi saya pandang perlu membahas secara runut dan menyeluruh, seperti tafsir Al-Quran itu (Siapa coba yang pernah belajar sampai khatam dari Al-Fatihah sampai An-Naas?), perlu sekali. Selain itu, kalau bahasannya umum, maka yang kita peroleh, dapat dikatakan baru "kulitnya" saja, sehingga perlu pendalaman. Dan ini tidak bisa tidak, ya harus belajar secara khusus, maksudnya belajar tafsir Al-Quran untuk semua ayatnya.

Oleh karena itu, ketika ada kesempatan belajar ilmu-ilmu "khusus" itu, ya raihlah kesempatan itu dan belajarlah sampai semaksimal mungkin. Kalau sudah terlewat, ya mungkin kesempatan itu susah datang lagi. Mungkin bisa saja kesempatan itu datang karena ilmu tersebut sudah dikenal banyak orang. Contoh: dahulu yang pernah belajar tahsin Al-Quran dengan saya di Al-Ikhlash, pasti bisa bilang bahwa pada saat itu belajar tahsin Al-Quran sangat jarang sekira tahun 90-an. Namun sekarang, sudah bisa ditemui di mana-mana. Jadi dahulu mungkin kesempatannya sedikit, dan sekarang jadi banyak.

Nah, ketika kita dapat kesempatan belajar, maka gunakan kesempatan itus sebaik mungkin. Maksimalkan kemampuan untuk "bisa".Tapi syaratnya harus sabar. Ingat pepatah: "Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi." Apalagi mengingat bertambahnya waktu, memungkinkan bertambahnya "penghalang". Ambil contoh: dulu masih kuliah (sebagai mahasiswa), kemudian lulus, menikah, punya anak dst. Bukan berarti tidak boleh lulus kuliah, apalagi tidak boleh menikah. Tapi tidak bisa  dipungkiri bahwa adanya hal-hal tersebut melahirkan "tantangan-tantangan" baru yang bisa menjadi "penghalang" tadi. Dulu ketika mahasiswa, misalnya bisa menghafal Al-Qur'an banyak, sampai bisa hafal berapa juz' begitu. Setelah manikah, apalagi punya anak, mulailah rontok hafalan Al-Qur'annya satu per satu. Kalau ditanya masih punya hafalan berapa banyak, dihitung-hitung tinggal seperberapanya dari yang dulu.

Oleh karena itu, semangat belajar haruslah dijaga. Berprinsip yang mudah: "Mumpung ada kesempatan". Daripada nanti menyesal karena dulu ada kesempatan, tetapi karena tidak dijalani dengan maksimal, akhirnya ilmu itu tidak bisa digenggam. Sampai pas suatu saat dibutuhkan, ternyata baru sadar bahwa yang diraih cuma sedikit, padahal kesempatan belajar lagi sudah tidak ada.

Mudah-mudahan kita masih bersemangat untuk banyak belajar. Mumpung masih ada waktu.


Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Selasa, November 22, 2016

Jika kita Pemimpin Jangan Terburu-buru Salahkan Orang Lain

Tulisan di bawah ini adalah kutipan dari http://kangbens.blogspot.co.id/2013/10/jika-kita-pemimpin-jangan-terburu-buru.html diakses pada 17 Nov 11:35

Mudah-mudahan jadi motivasi bagi kita untuk jadi pemimpin yang baik.

Menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri, nah ini dia yang mungkin sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, rasanya kalau kita ada kesalahan dan diminta pertanggungjawaban, maka serta merta dan secepat kilat kita akan melakukan pembelaan diri termasuk diantaranya menyalahkan orang lain, team tidak bisa bekerja lah, team bekerja lambat lah, team sulit dikoordinasi dan beribu-ribu alasan yang kita ungkapkan ketika kita mengadapai dilema pada saat menghadapi sebuah masalah dalam pekerjaan dan mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sikap ini bukan lah sikap yang terpuji, apalagi kalau kita dalam posisi sebagai seorang pemimpin, seluruh alasan-alasan itu pada akhirnya justru mengarah kepada dirinya sendiri, contoh saja kalau kita katakan team tidak bisa bekerja, team tidak bekerja cepat, tim sulit diatur nah loh lalu yang salah siapa ? apakah team kita yang salah atau justru kita yang salah karena kita tidak bisa membimbing dan mengarahkan team, karena kita tidak bisa memotivasi team kita dan kita jelas-jelas mungkin tidak mampu mengkoordinir seluruh pekerjaan team kita.

Namun sayang biasanya hal itu tidak kita sadari karena kita buta dan digelapak oleh keinginan untuk membela diri kita malah sibuk mencari kesalahan orang dan mengkambinghitamkan orang lain, pada sebenarnya kita lah yang salah karena ketidak mampuan kita melakukan directing dalam team kita.

Tentunya kita rindu dengan para pemimpin yang dapat menjadi suri tauladan yang secara gentlemen mengakui kelemahan dirinya tanpa rasa sungkan dan ragu walaupun itu dihadapan para anak buahnya bahkan dihadapan para atasanya.

Bayangkan saja kalau kita dipimpin sama orang yang selalu menyalahkan orang lain, apakah kita bisa nyaman bekerja dalam team tersebut, tentunya tidak bukan, justri ini akan menjadi kontra produktif terhadap kinerja bawahan, lama-lama mungkin bisa jadi timbul rasa dendam bahkan mungkin merasa terdolimi.

Tapi bayangkan jika atasan kita memiliki sikap yang "ngemong" dia berani bertanggunjawab tehadap apa yang dihadapinya, dia tidak buru-buru menyalahkan bawahan sebelum dia mengoreksi dirinya sendiri, dia siap menanggung secara gentlemen kesalahan para anak buahnya sebagai rasa tanggunjawabnya, tentunya penerimaan dan penghormatan dari team yang dipimpinnya jauh akan melebihi dari yang kita bayangkan, disitulah sikap seorang pemimpin.

Jangan Suka Mencari Kesalahan Bawahan

Tulisan di bawah adalah kutipan dari http://djajendra-motivator.com/?p=1101 diakses pada 17 Nov 2016 jam 11:34

Mudah-mudahan jadi motivasi bagi kita untuk jadi pemimpin yang bijak.

“Sikap Suka Mencari Kesalahan  Akan Menjadi Kontra Produktif .”-Djajendra

Salah satu sikap buruk yang harus dihindari pemimpin adalah sikap mencari – cari kesalahan dari bawahan. Bawahan tak mungkin berani berkutik atas lemparan kesalahan kepada diri mereka oleh pemimpin mereka. Sikap diam dan pura – pura patuh pada pemimpin adalah perilaku bawahan yang terjajah. Pemimpin yang suka melempar kesalahan pada bawahan adalah tipe pemimpin yang tidak bertanggung jawab.

Perilaku yang suka mencari kesalahan diakibatkan oleh rendahnya kemampuan dan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan oleh upaya untuk menutupi kelemahan dan kekurangan diri sendiri.

Kerugian organisasi atas perilaku kepemimpinan yang suka mencari kesalahan adalah sangat besar. Kinerja organisasi hanya akan berjalan di tempat tanpa kemajuan apa pun, dan rasa tidak suka dari para bawahan kepada pemimpin berpotensi merusak keharmonisan hubungan kerja.

Pemimpin yang bijak pasti menyadari bahwa sikap suka menyalahkan bawahan adalah sikap buruk. Pemimpin yang tak mampu memikul tanggung jawab organisasi dengan integritas tinggi akan kehilangan kredibilitas. Pemimpin harus bisa membuka diri untuk melihat semua hal secara positif, dan tidak menyudutkan bawahan dengan kesalahan.

Pemimpin adalah seseorang yang dianggap oleh para bawahannya mampu membantu mereka dengan berbagai macam solusi jitu. Oleh karena itu, pemimpin harus mampu merangkul semua bawahan. Dan mendorong bawahan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab melalui etika kerja yang baik.

Pemimpin bijak tidak akan duduk diam sambil melihat kesalahan dan kelalaian berlalu-lalang dalam sistem organisasi, tapi secara proaktif ia akan membimbing dan mengarahkan semua bawahan menuju kinerja maksimal.

Pemimpin bijak pasti mengerti manfaat besar dari sikap tidak menyalahkan orang lain, serta memahami sikap merangkul dan memotivasi semua kekuatan sumber daya manusia sebagai perilaku terbaik untuk menghasilkan kinerja terbaik.

Jumat, Oktober 28, 2016

Beramal dengan Benar dengan Bahasa

Beberapa waktu yang lalu dalam grup WA koperasi syariah masjid saya, ada beberapa kerancuan
yang muncul dalam hal ucapan "doa" untuk kesembuhan anggota keluarga dari anggota koperasi.
Masalahnya sih sederhana, yaitu dari penggunaan kata ganti (dhamir) yang terdapat dapat
ucapan "syafakallah", "syafakillah", "syafahullah", dan "syafahallah" (Ini tidak saya tulis
dengan hukum mad-nya ya).

Sebenarnya sih, ucapan-ucapan di atas tidak dapat kita temui secara tegas dalam hadits-
hadits Nabi ya. Dalam hadits, yang ada malah lafaz doa yang tegas. Ucapan-ucapan ini dalam
pandangan saya, ya boleh saja, karena ini adalah ucapan yang secara wajar akan muncul dalam
berbahasa Arab pergaulan sebagai harapan baik kita. Tentu harapan baik ini secara tidak
langsung adalah doa. Saya ambil contoh jika ada saudara kita akan bepergian ke luar kota,
kemudian kita berkata kepadanya: "Hati-hati di jalan ya. Mudah-mudahan Allah memberikan
kelancaran dan keselamatan selama kamu bepergian".

Yang jadi masalah adalah orang-orang menggunakan ucapan-ucapan ini secara salah, misalnya
kepada dia (laki-laki), diucapkan "syafakillah". Ya ini jelas salah. Mestinya "syafahullah".
Oleh karena itu, dalam grup yang saya sebut di atas, saya terangkan hal ihwalnya tentang
penggunaan ucapan-ucapan itu yang benar.

Nah, dari kejadian ini nampak bahwa amal yang diniatkan dengan baik, bisa keliru karena
salah ucap. Kelihatannya sederhana, tetapi bagi orang biasa yang tahu bahasa Arab, tentu
jadi terdengar aneh. Mudah-mudahan saja dimaafkan oleh Allah.

Paparan saya ini bukan mempermasalahkan penilaian atau maaf yang diberika Allah ya, tetapi
untuk mengajak supaya beramal yang sekalian benar dari segala aspeknya, termasuk dari segi
bahasanya. Mudah-mudahan Allah memudahkan upaya kita untuk ini.

Aamiin.

Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Jumat, Oktober 14, 2016

Ujian Hidup

Barusan sore tadi ada mahasiswa saya yang menghadap saya ke ruangan saya. Singkat kata, dia mau mengundurkan diri karena ada 2-3 mata kuliah pada semester ini yang dia tidak bisa pahami.

Saya heran karena sebenarnya mahasiswa ini sejak dia masuk, menunjukkan prestasi yang bagus. Nilainya kalau bukan A, ya B. Jadi saya pandang, dia ini punya potensi besar dalam memahami kuliah, bahkan jika dibandingkan teman-temannya yang lain. Tentu saya sekali jika potensinya "diputus" begitu saja dengan pengunduran dirinya.

Setelah saya mendengar kemauannya tersebut, saya katakan bahwa saya berkeberatan dengan pengunduran dirinya. Kemudian saya coba gali latar belakang atau sebab yang membuatnya menyatakan kemauan mengundurkan diri tersebut.

Dia bercerita bahwa pada awalnya dia mengalami kesulitan memahami beberapa mata kuliah tersebut. Dia sudah coba bertanya kepada teman-temannya yang paham, bahkan dosen-dosennya, tapi tetap saja tidak paham. Puncaknya pada saat UAS pada salah satu mata kuliah tersebut, dia tidak bisa jawab sama sekali. Lembar jawabannya sampai kosong. Sejak itulah dia down.

Saya tanyakan apakah ada kegiatan-kegiatan atau sesuatu yang lain di luar yang mengganggu belajarnya, dia katakan tidak ada. Tapi kemudian dia katakan bahwa dia merasa dengan kondisi yang dia alami di atas, nilai semester ini akan turun. Yang dia khawatirkan adalah nilai kumulatif nantinya akan turun. Selain itu juga harapan orang tuanya yang mungkin jadi tidak terpenuhi, karena nilai yang tidak sesuai ekspektasinya.

Setelah mendengar penuturannya, saya kemudian bercerita, kilas balik tentang perjalanan kuliah S1 saya. Saya ceritakan bahwa dulu nilai-nilai saya banyak C-nya. Bahkan ada kuliah-kuliah yang saya ulang sampai jadi hattrick, maksudnya diulang sampai 4 kali. Tapi saya sampaikan juga, bahwa mungkin dia dan saya berbeda. Saya katakan bahwa saya pernah beberapa kali gagal, sampai sekarang. Jadi kalau kemudian gagal lagi, ya seakan biasa saja. Sedangkan dia, mungkin selama ini selalu mendapatkan hasil yang bagus, yang sesuai keinginannya. Tapi begitu dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, langsung down. Oleh karena itu, saya sampaikan kepadanya bahwa itulah hidup, tidak semua yang dia inginkan akan dia dapatkan. Saya sampaikan bahwa mungkin ada hal lagi nantinya yang lebih parah daripada yang sekarang. Kalau dia down sekarang, bagaimana nanti?

Saudara-saudara,
Saya bukannya memberikan alasan kegagalan sehingga orang harus merasa biasa kalau gagal. Saya cuma perlu menyampaikan bahwa dalam hidup, ada saja kemungkinan di mana kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Pada sebagian kondisi/perkara, bisa saja kita sebut itu ujian. Kalau sudah begini, ingat bahwa tiap manusia pasti akan diuji. Saya ambil dari https://almanhaj.or.id/3450-setiap-muslim-akan-menghadapi-ujian-dan-cobaan.html:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân/3 : 186]

Catatan:
Sebagai bahan pemikiran juga, perlu dilihat juga bagaimana proses pendidikan anak oleh orang tua. Orang yang pada masa kecil atau remaja selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, tidak pernah merasakan kerasnya hidup atau kegagalan, bahkan mungkin semua hal dipenuhi atau dilayani orang tua, bisa mudah down ketika mengalami sekali kegagalan atau tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia mungkin akan membentuk anaknya dengan cara serupa. Dan akhirnya akan membentuk karakter anaknya serupa dengan karakter dirinya.

Sekedar selingan, saya kutip potongan puisi yang katanya dari Jendral McArthur berjudul "Doa Untuk Putraku" dari http://www.kompasiana.com/elynrambukaborang/doa-untuk-putraku-dari-jenderal-douglas-macarthur_55009537a333113072511514:
----
----
Ya Tuhan, bimbinglah ia bukan di jalan yang gampang dan mudah tetapi di jalan penuh desakan, tantangan dan kesukaran Ajarilah ia: agar ia sanggup berdiri tegak di tengah badai dan belajar mengasihi mereka yang tidak berhasil
---
---
Ditulis di Bandung untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Jumat, September 30, 2016

Sepotong Tinjauan dalam Perniagaan Syar'iy

Dalam beberapa pekan ke belakang, saya membahas hadits-hadits tentang perniagaan menurut sunnah Nabi SAW dari kitab Bulughul Maram. Di sini saya tidak akan membahas hadits-hadits tersebut, tetapi saya akan singgung materi yang terkait ini dari Al-Quran, yaitu surat Al-Muthaffifiin ayat 1-6, sbb:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ        (٦)

Terjemah:

  1. Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang),
  2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
  3. dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.
  4. Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
  5. pada suatu hari yang besar,
  6. (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.

Dikutip dari: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-muthaffifin.html

Kalau kita ditanya, sebagai muslim, apakah pegangan hidup kita, maka kita akan mudah menjawab, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi kita. Betul, bukan?

Terus, apa hubungannya dengan ayat-ayat ini?

Menilik pada apa yang terjadi di sekitar kita, bahkan termasuk yang ada pada kita, maka sebenarnya pernyataan kita tentang Al-Quran dan Sunnah Nabi kita di atas, mungkin perlu dipertanyakan. Kenapa? Karena jawaban kita pada dasarnya perlu pembuktian, dalam hal ini adalah pembuktian dalam kehidupan nyata sebagai konsekuensi dari pernyataan kita. Artinya harus nyata adanya penerapan Al-Quran dan Sunnah Nabi kita dalam kehidupan nyata ini.

Namun kalau melihat diri kita sendiri, maka ada saja hal, perbuatan atau sifat kita yang ternyata menyimpang dari tuntunan Al-Quran maupun Sunnah Nabi kita. Salah satunya adalah perilaku haram dalam perdagangan sebagaimana yang diancamkan dalam ayat-ayat di atas. Disebut ancaman, karena adanya celaan dan dikaitkan dengan kondisi pada hari kiamat. Artinya perilaku ini termasuk perbuatan dosa yang berat, sekalipun tidak disebutkan adanya hukum had dalam hal ini.

Secara nyata, dalam perdagangan, bisa sebagai pembeli atau penjual, orang bisa melakukan kecurangan. Apa bentuknya? Ya sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas:

  • Sebagai pembeli, kalau ditimbang/ditakarkan, minta dipernuhi. Bahkan bisa jadi minta dilebihkan, tanpa ada keridhaan dari penjualnya.
  • Sebagai penjual, ketika menimbang/menakar, sengaja menguragi. Misalnya saja dengan merekayasa alat timbangan/takaran.

Perilaku di atas tentu sangat beresiko dunia dan akhirat, terutama dalam pengurangan timbangan/takaran. Di dunia, dalam hukum positif negara, hal ini termasuk perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana. Di akhirat pun jelas ada ancaman siksaan sebagaimana tersirat dalam ayat-ayat di atas.

Sebagai orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat, maka sudah semestinya kita menghindari praktek-praktek terlarang seperti ini. Ada ulama yang mengaitkan ini dengan dzikir seseorang kepada Allah. Kenapa? Karena seseorang yang ingat kepada Allah, pasti akan menjauhi perilaku seperti ini.

Berniaga yang bersih, pada dasarnya akan membawa keuntungan dunia dan akhirat. Kenapa? Karena dalam pandangan manusia, akan menimbulkan citra positif yang ujung-ujungnya akan membawa keuntungan juga. Dalam pandangan Allah, juga akan membawa kebahagiaan sampai akhirat. In syaa'allaah.

Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Jumat, September 16, 2016

Sepotong Aspek Qira'atul-Qur'an

Materi kali ini saya buka dengan tanya jawab antara saya dan murid saya yang mengajukan pertanyaan via email sekira 2 tahun yang lalu. Begini potongan pertanyaannya:

"v dah nanya maksud yg ummi itu,
jd kata beliau ini sebetulnya rasulullah itu bukan tidak bisa baca bukan tidak paham.
seperti di surat al.mukminun ayat 108, 107, 111

penulisan قا ل
ayat 108 ditulis قا ل
ayat 107 dan 111 ditulis قل

dari sini bisa jadi rasulullah itu dibimbing oleh Allah.."

Saya jawab:

"Kalau saya menilai pernyataan beliau tentang definisi ummiy dan penulisan Al-Quran, sepertinya pakai logika ya.

Coba merujuk kembali sejarah bagaimana wahyu itu ditulis, baik di zaman Nabi hidup maupun sesudahnya, termasuk saat penyusunan mushhaf di masa kekhalifahan Utsman. Dari situ terlihat bahwa keterlibatan Nabi bisa dikatakan dalam penyusunan urutan/penempatan ayat, tetapi tidak dalam penulisannya. Adapun penulisannya, semata-mata dari para shahabat penulis wahyu.

Mungkin jadi timbul pertanyaan, bagaimana kalau shahabat itu asal menulis atau salah menulis?

Saya jawab, tidak mungkin. Kenapa? Karena pada saat penulisan wahyu (maksudnya yang kita kenal sekarang ada pada mushhaf yang kita pegang), pasti ada saksinya. Bahkan pada saat pengumpulan tulisan wahyu dalam satu mushhaf di masa Abu Bakar, tidak akan diterima tulisan tersebut, kecuali ada 2 saksi yang menyaksikan bahwa tulisan tersebut dibuat di hadapan Nabi.

Adapun perbedaan tulisan dalam satu mushhaf, saya pandang ini konsekuensi dari penulisan wahyu yang harus bisa dibaca dengan qira'ah sab'ah (tujuh qiraah). Para shahabat penulis wahyu di masa kekhalifahan Utsman berusaha menulis dengan tulisan yang bisa tetap menjaga qiraah-qiraah tersebut. Bahkan konsekuensinya, jumlah mushhaf resmi sebenarnya lebih dari satu, semata-mata untuk menjaga qiraah-qiraah tersebut.

Saya tidak tahu apakah Akang yang menerangkan tulisan Al-Quran itu belajar qira'ah sab'ah atau tidak. Kebetulan saya pernah belajar, jadi saya tahu benar bahwa lafazh  ?? itu bisa dibaca dengan cara berbeda, misalnya; "qoola" dan "qul", menurut qiraah yang berbeda. Bahkan saya punya satu mushhaf yang isinya mencakup cara bacanya dengan tujuh qiraah yang berbeda."

Ada beberapa hal yang patut jadi perhatian:

  1. Kita perlu mengerti tentang sejarah Islam. Sebenarnya kalau kita belajar hadits, kita dengan sendirinya juga belajar sejarah, karena sejarah Islam ditulis berdasarkan hadits juga.
  2. Kita perlu mengerti bahwa Al-Quran diturunkan dengan beberapa qira'aat. Mushhaf yang ditulis resmi pada zaman kekhalifahan Utsman, dapat mengakomodir qira'ah-qira'ah yang berbeda. Tetapi yang selama ini kita pelajari, bahkan mushhaf yang selama ini kita pakai, dapat dikatakan berdasarkan qiraah Imam Hafs. 
  3. Mempelajari Al-Quran tidak cukup hanya berlandaskan bisa bahasa Arab saja, apalagi cuma didukung logika. Belajar Al-Quran harus komprehensif ditinjau dari banyak ilmu-ilmu Al-Quran.
Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlas, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Kamis, September 01, 2016

Fiqih, Bahasa Arab, dan Tahsin Al-Qur'an

Kodifikasi ilmu-ilmu agama Islam sudah berjalan sejak lama. Dr M Dhiauddin Rais dalam bukunya "Kajian Politik ISlam: TEORI POLITIK ISLAM" terbitan Gema Insani Press tahun 2001, menyebutkan bahwa periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam dimulai pada perode Abbasiah. Adapun munculnya gerakan kodifikasi fiqih sendiri dikatakan oleh Umi Nurvitasari Al- Rimbany dalam artikel blognya yang berjudul "Pengertian Fiqh dan Sejarah perkembangannya" (http://surgaditelapakibu.blogspot.co.id/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html) dikatakan terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Dihitung dari periode-periode ini ke masa sekarang, tentu selisih waktunya sudah sangat panjang.

Pada zaman Nabi SAW hidup, tentu kita tidak akan mendapati ilmu-ilmu Islam dalam kodifikasi dengan nama-nama semacam judul di atas. Beliau mengajari para shahabat begitu saja. Jadi kita tidak akan dapati hadits yang menyebutkan, misalnya, hari ini beliau khusus mengajarkan fiqih, kemudian besoknya adalah jadwal beliau mengajar bahasa Arab, kemudian besoknya lagi adalah jadwal mengajar tahsin Al-Quran, dst.

Namun Ulama pada masa kemudiannya, mengkodifikasi apa yang diajarkan beliau demi manfaat bagi ummat seterusnya, sebagai tujuan umumnya. Adapun tujuan khusus dari kodifikasi itu karena masing-masing bagian/ilmu tadi mempunyai tujuan masing-masing.

Sedangkan sebagai hukum secara keseluruhan, mengacu kepada posting Rio Erlangga Maharja dalam blog yang berjudul "Koodifikasi dan Unifikasi" (http://acceleneun.blogspot.co.id/2013/03/koodifikasi-dan-unifikasi.html), kodifikasi tersebut dapat memberikan kepastian, penyederhanaan, dan kesatuan hukum. Kepastian berarti ilmu itu tertulis dalam kitab. Sederhana berarti umat dapat memperoleh, memiliki, dan mempelajarinya. Kesatuan berarti dapat mencegah dari kesimpangsiuran terhadap pengertian hukum yang bersangkutan, berbagai kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaanya, dan keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum.

Berbicara mengenai keuntungan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam, dalam perjalanan sejarah penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu Islam, kodifikasi tersebut sangatlah bermanfaat bagi umat. Tujuan-tujuan yang disebutkan dalam paragraf di atas pada dasarnya tercapai sehingga banyak kemaslahatan umat yang dapat terjaga. Namun berbicara pula mengenai kerugiannya, tentu ada juga.

Berikut diberikan contoh-contoh sederhana:
- Seorang imam di Indonesia mempunyai bacaan Al-Quran yang sangat bagus, bahkan kebagusan bacaannya diakui oleh Imam Masjidil Haram. Tetapi kalau melihat caranya shalat, ternyata ada gerakan atau sikap shalat yang tidak tepat. Kesimpulan mudahnya: dia kurang paham fiqih shalat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan gerakan atau sikap shalat semestinya didapat dari belajar Fiqih.
- Seorang hafizh di Bandung mempunyai bacaan dan hafalan Al-Quran yang bagus, tetapi terdapat kesalahan-kesalahan dari cara memotong bacaan atau ayat Al-Quran yang dia baca. Kesimpulan mudahnya: dia tidak mengerti makna ayat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan makna ayat semestinya didapat dari belajar Tafsir Al-Quran, atau paling tidak Bahasa Arab.

Kejadian-kejadian di atas adalah fakta dan barangkali pula terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Atau malah kita sendiri yang termasuk dalam contoh-contoh seperti ini. Kalau ditanyakan, kenapa terjadi hal-hal seperti ini? Dalam pandangan saya, ini terjadi karena dengan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam di atas, orang-orang sekarang kemudian "memilih" untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dia mau, bukan ilmu-ilmu yang dia butuhkan. Bukan berarti kodifikasi ilmu itu salah, tetapi dapat membuat orang hanya memilih sebagiannya dan merasa cukup dengan itu. Jadi masalah sebenarnya sih adalah "merasa cukup dengan itu". Juga bukan berarti mempelajari ilmu yang dimaui itu salah, karena yang dia mau bisa jadi memang dia butuhkan, tetapi masalahnya yang dia butuhkan sebenarnya lebih dari yang dia mau.

Sebagai tambahan, kalau ada pertanyaan tentang belajar ilmu-ilmu Islam: "Jadi saya mesti belajar apa?". Jawabannya: "Ya belajar semua". Kalau direspon: "Wah, saya tidak sanggup". Jawabannya: "Ya semampunya". Dengan demikian, semestinya seseorang berusaha mempelajari semua ilmu, tetapi dalam prakteknya karena ada hal-hal yang mungkin merintangi dalam usahanya ini, misalnya dana, kondisi kesehatan, dan adanya kewajiban lain yang mesti dikerjakan dahulu, maka dia bisa melakukan usaha tersebut semampunya.

Judul di atas pada dasarnya hanyalah contoh, tetapi saya kemukakan dengan mempertimbangkan bahwa ilmu-ilmu di atas adalah cabang-cabang yang relatif paling mudah dicari gurunya, didapatkan kitabnya, dan dipelajari oleh kita. Cabang-cabang lain ada juga yang relatif mudah, sedangkan yang lain lagi relatif susah. Namun pengambilan judul di atas juga dimaksudkan supaya kita lebih berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini karena amal-amal yang kita lakukan sehari-hari bisa dikatakan terkait langsung dengan adanya "modal" dari fiqih, bahasa Arab, dan tahsin Al-Quran.

Ambillah contoh: kita melakukan shalat. Paling tidak untuk shalat yang benar, butuh gerakan/sikap dan bacaan yang benar. Sebagaimana telah disampaikan di atas, gerakan/sikap yang benar (ditambah dengan bacaan shalatnya) dapat kita peroleh dari belajar fiqih. Adapun bacaan yang benar (khususnya bacaan Al-Quran) dapat kita peroleh dari belajar tahsin Al-Quran. Tentunya bacaan yang benar akan mencakup pengertian kita terhadap makna ayat, dan ini dapat kita peroleh dari belajar bahasa Arab/tafsir Al-Quran.

Mumpung kita masih diberi waktu, tentunya kita seharusnya berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini. Tidak ada kata terlambat untuk ini. Tinggal upaya kita untuk mengalokasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk belajar. Mungkin dana juga.

Betul?

Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung