Rabu, Agustus 15, 2007

Ujian dari keluarga

Allah telah mengatakan: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka; dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan; di sisi Allah-lah pahala yang besar" (At-Taghabun: 14-15).

Dari beberapa sumber yang saya perolah, para ulama mengatakan tentang tafsir ayat ini dalam beberapa riwayat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Jami` li ahkamil Quran-nya Al-Qurtuby. Pertama, ayat ini turun di Madinah kepada seorang laki-laki yang bernama Auf bin Malik Al-Asyja`i. Dia mengadu kepada Rasulullah SAW tentang perilaku anak dan istrinya yang selalu mengalanginya bila berjihad di jalan Allah SWT. Kedua, At-Thabary menyebutkan dari Atho` bin Yasar bahwa surat At-Taghabun ini semuanya turun di Mekkah, kecuali ayat-ayat ini saja. Yang ini turunnya dalam konteks Auf bin Malik Al-Asyja`i yang punya banyak anak dan istri. Bila dia akan berangkat jihad, mereka menangis dan menggendolinya seraya berkata,"Kepada siapakah kami ditinggalkan ?". Maka turunlah ayat ini.
Al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata bahwa ayat ini menerangkan tentang kemungkinan adanya musuh di dalam anggota keluarga atau dari pihak istri sendiri. Namun bukan musuh seperti biasanya, tetapi musuh dalam selimut. Karena perbuatannya yang bisa membuat seseorang surut dari perjuangan atau surut dari ketaatan kepada Allah SWT. Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada musuh yang mampu memutuskan hubungan mesra antara seseorang dengan tuhannya.

Ketiga,
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 di atas, dari riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu menurunkan ayat 14 di atas.

Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul.
Seorang bujangan/lajang, bisa dikatakan “memiliki penuh dirinya sendiri”. 100% waktunya bisa dipakai untuk keperluannya sendiri. Makanya ia bisa memperhatikan dirinya dengan lebih baik. Lihat saja bagaimana seorang bujangan dapat “mendandani” dirinya dengan leluasa. Lebih dari itu, seandainya punya uang pun, uang itu dapat dibelanjakan sesuai keinginannya sendiri.
Bagaimana jika status lajang sudah lepas dengan bersuami/beristri? Waktu yang tadinya bisa 100% dipakai sendiri, sekarang harus “dipotong” buat istri/suami, karena masing-masing memang akan “mengiris” waktu pasangannya. Juga perhatian, dana, dsb. Kalau dahulu waktu masih lajang, mau pergi atau ada acara kemana pun bisa tinggal berangkat saja. Sekarang tidak bisa lagi, harus melihat dahulu apakah istri/suami tidak “terganggu”. Sekarang juga ada “orang yang harus diperhatikan” tiap hari, padahal dahulu tidak harus begitu.
Wajar? Tentu saja wajar. Berat? Ya dan tidak. Secara zhahir memang berat, tetapi kalau kita ingat bahwa itu adalah ketentuan dari Allah yang akan menghasilkan ganjaran baik, tentu akan menjadi ringan. Itulah pernikahan, membuat seseorang yang lain “masuk” dalam kehidupan kita. Membuat kita menjadi wajib memperhatikannya, memenuhi hak-haknya, dll, sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Namun justru di sinilah masalahnya, sebagaimana telah diungkapkan di depan. Seringkali karena kita “merasa wajib” memenuhi hak-hak pasangan kita, malahan kita melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi kehendak Allah dan Rasul-Nya. Contohnya seperti dalam riwayat asbabun-nuzul di depan, seperti menghalangi berperang jihad dan belajar agama dengan menyertai Nabi (mendatangi majlis-majlis ilmu beliau bersama shahabat-shahabat).
Dengan pernikahan, pasti ada yang berubah. Namun yang dimaksud di sini tentunya bukan perubahan amal shalih yang menjadikan kita mundur dari berjihad atau berkurang kesungguhan dalam mendatangi majlis ilmu. Pernikahan seharusnya membuat kita semakin kuat dalam beramal shalih, karena kita kedatangan “penguat”, yaitu istri/suami kita. Dengan pemikiran sederhana, sekalipun ada bagian dari diri kita yang dimiliki oleh pasangan kita, tetap ada bagian dari kita yang dibantu olehnya. Sekedar contoh, seorang laki-laki yang tadinya ketika lajang harus berjalan keluar rumah untuk makan, sekarang sudah tidak perlu lagi begitu karena istrinya sudah membuat makanan untuknya di rumah.
Dalam hal ini memang tergantung komitmen sejak awal pernikahan, misalnya bagaimana jika nanti begini, begitu, dst. Maksudnya tentunya bagaimana dengan amal shalih masing-masing, seperti bagaimana belajar agamanya, bagaimana dakwahnya, dsb. Dan selanjutnya juga termasuk juga bagaimana itu semua jika istri hamil, atau anak sudah lahir, atau anak bertambah, dst. Termasuk juga bagaimana jika tidak ada kendaraan, atau kendaraannya cuma angkot, atau sepeda. Atau bagaimana kalau rumahnya jauh dari tempat pengajian, dst, dst.
Rumit? Tidak juga. Kenapa? Karena ini demi kehidupan akhirat kita yang lebih baik. Kalau bukan karena ini, apa gunanya Allah mengatakan hal-hal di atas dalam Kalam-Nya. Tinggal bagaimana kita menyikapi peringatan-Nya dalam ayat-ayat di atas.
Seringkali memang kita beralasan dengan alasan ini dan itu yang banyak, yang belum tentu itu cukup sebagai alasan bagi kita untuk “kendor” dalam beramal shalih. Salah satunya bisa jadi karena ada lagi orang lain yang kondisinya jauh lebih buruk dari pada kita, tetapi ia tetap dapat beramal shalih dengan kuat.
Sekedar pengingat, saya mau bertanya, apakah istri/suami kita membuat kita bertambah sungguh-sungguh dalam mendatangi majlis ilmu, berdakwah dan berjihad? Atau malah karenanya, kita tidak lagi mendatangi majlis ilmu, dan mencukupkan diri dengan apa-apa yang kita pandang sudah baik (menurut kita, padahal belum tentu, menurut Allah)?