Rabu, Maret 12, 2008

Jangan Meremehkan Pertanyaan Anak

Saya ingat pada saat musim kemarau yang baru lalu ketika pulang dari masjid bersama anak pertama saya, ia bertanya kenapa tidak turun hujan. Saya jawab bahwa sekarang musim kemarau sehingga tidak turun hujan.
Suatu saat (masih dalam musim kemarau), ketika lagi-lagi saya pergi berboncengan naik motor bersama anak pertama saya, kami melewati sebuah jalan yang di sampingnya terdapat pohon-pohon yang berguguran daunnya dengan jumlah yang sangat banyak sehingga menutupi sebagian besar badan jalan itu. Di situ saya berkata kepadanya, “Di musim kemarau pohon-pohon ini meranggas, artinya mengugurkan daun-daunnya supaya mereka tidak cepat kekeringan.”
Sekarang tibalah akhir musim kemarau yang kebetulan juga disertai dengan beberapa kali hujan (Kata orang BMG mah: “Kemarau Basah”). Pada saat itu saya bepergian naik motor bersama anak pertama saya lagi melewati suatu jalan besar yang tertutupi sebagian badannya oleh dedaunan pohon-pohon yang meranggas. Oh ya, kebetulan kemarin hujan. Melihat dedaunan yang banyak ini, anak saya kemudian berkata: “Ayah, sekarang kemarau, tapi kemarin hujan.”
Kata-kata anak saya ini memang pendek, tapi membuat saya jadi berpikir bahwa anak ini mengingat penjelasan-penjelasan saya yang dulu, menyambungnya, lalu membuat kesimpulan dengan logika yang berbeda dengan penjelasan saya, tapi benar. Dengan kata lain, sebenarnya anak saya juga mempertanyakan penjelasan saya yang dulu itu.
Benar bahwa pada dasarnya anak punya keinginan untuk tahu, kemampuan untuk menyerap suatu informasi dari mana saja (bahkan yang cuma terlintas sepersekian detik), mengingat, menalar, dan mengambil kesimpulan, tidak peduli apakah informasi yang diterimanya lengkap atau tidak, atau kesimpulannya benar atau tidak. Karena ini pula, saya dan istri berusaha menjawab pertanyaan dengan jujur, tentunya disesuaikan dengan umur anak. Kalau sekiranya jawaban yang sebenarnya belum bisa dimengerti begitu saja oleh anak saya, ya terpaksa diberi jawaban lain yang juga benar karena kami tidak mau berbohong. Contohnya ketika istri saya mengalami haidh sehingga tidak melaksanakan shalat. Kalau anak-anak (yang pertama dan kedua) saya ajak ke masjid untuk shalat maghrib atau isya’ (saya sampai di rumah sepulang kerja sudah malam), mereka suka bertanya: “Ibu tidak shalat?”. Terus terang saya merasa anak-anak seumur mereka belum waktunya dijelaskan tentang haidh. Makanya saya jawab saja: “Ibu mau neteki dede bayi dulu.” Ini sebenarnya bukan jawaban sesungguhnya kenapa ibu mereka tidak shalat, tapi pada saat mereka bertanya memang merupakan saat tidurnya adik bayi mereka yang perlu diteteki dulu. Jadi benar juga, tidak bohong.
Sebagian orang mengatakan bahwa orang tua jangan menjawab “tidak tahu” atas pertanyaan anak. Bagi saya, tidak apa-apa orang tua menjawab “tidak tahu” kalau memang tidak tahu, daripada berbohong atau asal menjawab yang ujung-ujungnya bikin susah sendiri. Lebih baik apa adanya, tapi di lain waktu ketika kita sudah dapat jawabannya, kita berikan jawaban itu kepada mereka. Ingat, nanti pun dengan semakin besar dan semakin dewasanya anak-anak kita, mereka akan dapat tahu bahwa dahulu kita orang tua mereka menjawab dengan kebohongan atau asal.
Anak-anak kita itu makhluk luar biasa, cuma badannya saja yang masih kecil sehingga banyak orang tua “mengecilkan” mereka….

Kamis, Februari 21, 2008

Allah itu Maha Kaya...

Alhamdu lillaah, setelah sekian lama tidak bisa melakukan posting ke blog ini, akhirnya tercapai juga sekarang. Sebabnya biasa saja…kerjaan kantor yang terus menerus datang, kerjaan dari kampus yang terus sambung menyambung, serta keriuhan rumah tangga dengan anak-anak yang suka bercanda ria dengan ributnya dan suka merebut waktu memakai komputer di rumah, membuat saya tidak bisa leluasa menulis di komputer kantor maupun komputer di rumah.
Kemarin mati listrik dari sore sampai malam berjam-jam. Ini mungkin gara-gara defisit energi listrik ya? Tapi lumayan, anak-anak bisa disuruh tidur cepat setelah shalat Isya’ dan saya bisa ngobrol lama dengan istri. Ngobrol tentang apa? Banyak, salah satunya tentang rizki.
Nostalgia nih…Setelah saya lulus kuliah S1, saya langsung mengajar di beberapa tempat di mana ada satu yang cukup memberikan penghasilan yang besar sedangkan yang lain jadi tambahan. Setahun kemudian, saya meneruskan kuliah S2 sambil tetap mengajar. Setahun berikutnya saya menikah dengan istri saya ini. Setahun kemudian lagi lahir anak pertama. Setahun berikutnya lagi lahir anak kedua. Selang empat tahunan kemudian, lahir anak ketiga.
Omong-omong, dengan tiga anak ini, kami masih belum punya rumah sendiri. Soal rumah ini salah satu bahasan yang saya obrolkan dengan istri. Ketika awal kami membangun rumah tangga, kami jadi kontraktor (maksudnya ngontrak rumah). Setelah anak pertama lahir, kami tinggal di paviliun milik orang tua istri saya agar dekat dengan ibunya untuk menemani beliau karena bapaknya baru saja meninggal. Baru setelah beberapa tahun di situ sebelum kelahiran anak ketiga, kami berpindah ke rumah kakaknya yang kebetulan kosong tidak dipakai, sampai sekarang. Praktis selama ini kami berpindah-pindah tempat tinggal di rumah-rumah yang bukan milik sendiri.
Kenapa belum punya rumah sendiri ya? Biasa…belum ada dana untuk itu. Ingin punya rumah sendiri? Jelas! Ini pula yang kami bicarakan. Kenapa? Karena jelas lebih bebas untuk mengelola rumah tangga di rumah sendiri. Kalau di rumah orang lain, sekalipun punya saudara sendiri, tetap saja tidak bisa leluasa.
Tapi kami tidak pernah menyalahkan Allah jika keadaan kami masih begini sementara banyak orang lain yang telah mempunyai rumah. Tidak pantas jika kami merasa iri dengki kepada mereka karena kami harus ridha dengan takdir yang Allah tetapkan ini. Yang pasti kami berdoa dan berusaha, salah satunya dengan berusaha menabung, agar suatu saat kami bisa mendapatkan yang kami inginkan ini. Oh ya, setelah menikah, istri saya yang semula bekerja di rumah sakit sebagai PNS, keluar dari sana untuk mengurus rumah tangga. Dengan kata lain, pendapatan keluarga hanya berasal dari penghasilan saya.
Mungkin ada yang mempertanyakan, memangnya penghasilan selama ini tidak cukup untuk mewujudkan keinginan mempunyai rumah? Terus terang, kami baru beberapa tahun membina rumah tangga. Dan selama waktu yang pendek ini, ada beberapa kejadian yang sangat menguras keuangan keluarga, misalnya istri dan anak-anak yang beberapa kali dirawat di rumah sakit karena istri mengalami beberapa kali keguguran, sedangkan anak-anak (pertama dan kedua) kena demam berdarah. Ditambah lagi saya kena PHK, justru dari tempat yang memberikan penghasilan paling besar, sekalipun saya tetap bersyukur bahwa gantinya ternyata lebih baik.
Pada dasarnya, itulah dinamika hidup. Ada saatnya di atas, ada saatnya di bawah. Tidak bisa dipastikan bahwa grafik hidup akan selalu naik. Tapi yang pasti, sebagai orang beriman, jika kita mengalami musibah maka kita harus bersabar, dan jika kita mendapat karunia maka kita harus bersyukur. Dan khusus untuk saya, sekalipun banyak orang yang “lebih sejahtera”, ternyata saya “masih bisa melakukan banyak hal” dengan kondisi saya sekarang, sementara banyak juga yang lain yang “tidak bisa berbuat apa-apa” dengan kondisi mereka. Bersyukur? Jelas!
Dan khusus untuk saya lagi, ternyata dengan bertambahnya anak, taraf kehidupan kami juga “lebih baik”. Sekalipun tadi, diselingi segala macam: keuangan yang kadang-kadang terkuras, PHK, dan sebagainya. Makanya saya bisa berkata:
ANAK-ANAK ADALAH MILIK ALLAH YANG DIA TITIPKAN KEPADA KITA. TIDAK MUNGKIN ALLAH YANG MAHA KAYA MENITIPKAN MAKHLUKNYA KEPADA KITA TANPA MEMBERI “BEKAL” YANG CUKUP BUAT MEREKA HIDUP.
Makanya jangan khawatir dengan masalah rizki. Tiap anak ada rizkinya masing-masing. Jangan khawatir dengan adanya anak (yang bertambah). Kita orang tua cukup berusaha sungguh-sungguh menjemput rizki dari-Nya. Allah pasti tetap akan menyediakan kebutuhan kita, termasuk rumah buat kami!