Jumat, November 25, 2016

Belajar Itu Harus Sabar

Sekira dua pekan yang lalu, saat saya mengajar bahasa Arab kepada tetangga saya dan menjelaskan keterkaitan ilmu-ilmu agama secara sekilas, tetangga saya tersebut bertanya tentang bagaimana mempelajari ilmu-ilmu itu semua, apakah secara paralel, ataukah satu dahulu kemudian baru yang lain.

Saya kemudian menanggapi bahwa saya sendiri sebenarnya tidak suka menjawab pertanyaan seperti ini. Namun kemudian saya sampaikan bahwa bagi saya, belajar ilmu-ilmu agama itu prinsipnya kalau ada kesempatan belajar, ya ambil saja. Kenapa? Karena kesempatan belajar itu belum tentu ada lagi. Apalagi untuk ilmu-ilmu tertentu, katakanlah bahasa Arab dan tafsir Al-Quran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang banyak majlis ta'lim, tetapi kebanyakan majlis-majlis itu menyampaikan topik-topik yang tematik dan umum. Bukan berarti topik tematik tidak perlu dibahas, tetapi saya pandang perlu membahas secara runut dan menyeluruh, seperti tafsir Al-Quran itu (Siapa coba yang pernah belajar sampai khatam dari Al-Fatihah sampai An-Naas?), perlu sekali. Selain itu, kalau bahasannya umum, maka yang kita peroleh, dapat dikatakan baru "kulitnya" saja, sehingga perlu pendalaman. Dan ini tidak bisa tidak, ya harus belajar secara khusus, maksudnya belajar tafsir Al-Quran untuk semua ayatnya.

Oleh karena itu, ketika ada kesempatan belajar ilmu-ilmu "khusus" itu, ya raihlah kesempatan itu dan belajarlah sampai semaksimal mungkin. Kalau sudah terlewat, ya mungkin kesempatan itu susah datang lagi. Mungkin bisa saja kesempatan itu datang karena ilmu tersebut sudah dikenal banyak orang. Contoh: dahulu yang pernah belajar tahsin Al-Quran dengan saya di Al-Ikhlash, pasti bisa bilang bahwa pada saat itu belajar tahsin Al-Quran sangat jarang sekira tahun 90-an. Namun sekarang, sudah bisa ditemui di mana-mana. Jadi dahulu mungkin kesempatannya sedikit, dan sekarang jadi banyak.

Nah, ketika kita dapat kesempatan belajar, maka gunakan kesempatan itus sebaik mungkin. Maksimalkan kemampuan untuk "bisa".Tapi syaratnya harus sabar. Ingat pepatah: "Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi." Apalagi mengingat bertambahnya waktu, memungkinkan bertambahnya "penghalang". Ambil contoh: dulu masih kuliah (sebagai mahasiswa), kemudian lulus, menikah, punya anak dst. Bukan berarti tidak boleh lulus kuliah, apalagi tidak boleh menikah. Tapi tidak bisa  dipungkiri bahwa adanya hal-hal tersebut melahirkan "tantangan-tantangan" baru yang bisa menjadi "penghalang" tadi. Dulu ketika mahasiswa, misalnya bisa menghafal Al-Qur'an banyak, sampai bisa hafal berapa juz' begitu. Setelah manikah, apalagi punya anak, mulailah rontok hafalan Al-Qur'annya satu per satu. Kalau ditanya masih punya hafalan berapa banyak, dihitung-hitung tinggal seperberapanya dari yang dulu.

Oleh karena itu, semangat belajar haruslah dijaga. Berprinsip yang mudah: "Mumpung ada kesempatan". Daripada nanti menyesal karena dulu ada kesempatan, tetapi karena tidak dijalani dengan maksimal, akhirnya ilmu itu tidak bisa digenggam. Sampai pas suatu saat dibutuhkan, ternyata baru sadar bahwa yang diraih cuma sedikit, padahal kesempatan belajar lagi sudah tidak ada.

Mudah-mudahan kita masih bersemangat untuk banyak belajar. Mumpung masih ada waktu.


Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Tidak ada komentar: