Jumat, Desember 20, 2013

Anak Bapak Itu Unik...

Tahukah Anda, apakah itu ADD dan ADHD?

Awal bulan ini istri saya meminta dicarikan bahan buat disampaikan dalam arisan ibu-ibu RT. Bahan buat arisan? Ya, maksudnya bahan diskusi atau paparan sebagai masukan atau tambahan ilmu buat ibu-ibu. Bagus juga nih, pikir saya. Kenapa? Karena tidak jarang ada ibu-ibu berkumpul arisan itu juga berkumpul untuk urusan yang tidak benar, misalnya ngerumpi ngomongin orang lain.

Sebenarnya tugas menyampaikan paparan di atas diberikan kepada yang menang arisan. Yang menang arisan kali ini adalah istri saya dan dua ibu yang lain. Namun karena dua ibu yang lain ini mempunyai bayi-bayi yang meyibukkan mereka, ya sudah, akhirnya istri saya yang dapat tugasnya. Sebenarnya istri saya juga sibuk karena harus mengurus anak-anak saudara yang harus mengurus orang tuanya yang dioperasi di rumah sakit.

Di kantor pada saat rehat kerja, saya cari-cari bahan yang diminta istri lewat internet. Setelah cukup lama berselancar, akhirnya saya pilih bahan tentang anak dengan ADHD dan ADD. Sekedar informasi, ADHD merupakan singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Kalau dalam bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas. Kalau ADD, ya berarti gangguan pemusatan perhatian, tapi tanpa disertai hiperaktivitas. Informasi lebih lanjut dapat dicari lewat internet, sebagaimana yang saya lakukan.

Mengapa saya pilih bahan ADHD dan ADD pada anak?

Sebenarnya ketertarikan saya untuk mengambil bahan tentang ADHD dan ADD pada anak ini cukup terdorong oleh adanya pembicaraan saya dan wali kelas dari anak kedua saya ketika pembagian rapor pada mid semester ini. Tentu saja bahasannya mengenai hasil yang dicapai oleh anak kedua saya sampai mid semester itu.

Pada dasarnya sih, secara akademik anak saya ini tidak bermasalah. Hasil pencapaian akademiknya bagus, bahkan rerata nilainya pada semester ini pun tertinggi di kelasnya. Tapi bukan itu masalahnya. Kenapa? Karena bagi saya dan istri saya, sebenarnya pencapaian akademik ini bukanlah satu-satunya yang harus diperhatikan. Bagi kami, hal-hal yang termasuk sikap pribadi anak juga penting untuk diperhatikan.

Nah, justru sikap pribadi anak kami ini sekarang yang lebih patut untuk diperhatikan: kurang perhatian, suka melakukan hal-hal yang "mengagetkan" atau tak terduga, kurang bisa mengendalikan penempatan sikap (di mana, kapan, dengan siapa) sehingga dikhawatirkan bisa dianggap tidak sopan oleh orang yang kurang paham. Namun anak kami ini aktif, kreatif (apa saja bisa menjadi  "sesuatu" baginya), dan pemahaman akademiknya baik (Kurang perhatian saja hasilnya sudah sangat baik, apalagi jika bisa fokus. Tentu hasilnya akan maksimal).

Terus terang, saya dan istri saya kadang-kadang suka merasa gusar dengan sikap anak kami ini. Tentu saja bukan marah karena manganggap anak kami ini "nakal". Sama sekali bukan. Hanya saja penempatan sikap anak kami yang tidak tepat itu yang menimbulkan kegusaran tadi. Sebenarnya kami sendiri tidak menganggap anak kami bermasalah, bahkan wali kelas anak kami ini mengatakan: "Anak Bapak ini unik".

Sebenarnya "keunikan" ini menimbulkan konsekuensi tersendiri. Maksudnya, anak saya ini mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan anak-anak lain. Alhamdu lillaah bahwa saya dan istri saya sudah tahu tentang hal ini dan selama ini juga telah melakukan upaya-upaya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini. Tentu belum maksimal. Namun kami berharap bahwa upaya-upaya kami ini dapat memberikan hasil yang memadai bagi tumbuh kembangnya anak kami ini menjadi pribadi yang baik.

Kembali ke ADHD dan ADD pada anak di atas.

Menurut saya, jelas anak kedua saya ini tidak termasuk anak yang mempunyai ADHD atau ADD. Mungkin lebih tepatnya ke "Super aktif" atau "Aktif". Menurut saya ya. Buktinya ya itu, pencapaian akademiknya bagus. Tapi ya memang butuh penanganan khusus. Kebetulan dulu pernah ada teman, seorang fisioterapis, yang melakukan "penilaian" terhadap anak kami. Dari beliau inilah kami tahu beberapa hal yang mesti kami perhatikan buat anak kami ini.

Sebagaimana kata para ilmuwan sekarang, sebenarnya anak-anak yang memiliki ADHD atau ADD juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang patut diperhatikan oleh para orang tua. Secara umum, anak-anak seperti ini (tidak hanya yang memiliki ADHD atau ADD) termasuk ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus. Salah satu hal yang patut disyukuri di masa sekarang ini adalah banyaknya penelitian tentang ABK ini sehingga pemahaman kita lebih baik, di samping tentunya karena penyebaran informasi yang cukup luas, misalnya lewat internet, sehingga para orang tua mempunyai akses yang lebih mudah dan lebih baik daripada masa lalu.

Seringkali saya meras gusar dengan adanya kasus yang muncul di media massa tentang orang atau anak yang dipasung. Kenapa? Karena bisa jadi mereka sebenarnya adalah ABK tetapi karena orang tua, keluarga, atau lingkungannya tidak mengerti bagaimana menangani ABK, jadinya diambil jalan (pintas) yang mereka tahu. Ya mungkin karena kebanyakan mereka kurang terpelajar dan tinggal di daerah yang susah mengakses informasi. Padahal bisa jadi, dengan perlakuan yang benar, orang atau anak tersebut dapat menjadi orang "normal".

Kata istri saya, ABK ini sebenarnya normal, hanya saja mempunyai kebutuhan khusus. Kalau ditangani dengan benar, ya tentu saja dia dapat berperilaku dengan "normal", berbaur dengan orang lain, bahkan memberikan manfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. Tidak sedikit orang yang tadinya adalah ABK dapat mencapai kesuksesan hidup yang menakjubkan.

Tentu sebagai orang tua, kita tidak boleh buru-buru memberi vonis, misalnya "nakal" atau "bermasalah", kepada anak kita ketika kita mendapati perilaku mereka tidak seperti anak-anak yang lain. Mungkin malah kita yang bermasalah, karena tidak melakukan tindakan yang seharusnya pada anak kita yang sebenarnya ABK. Jadi yang ada bukan anak yang bermasalah, tetapi justru orang tua yang bermasalah.

Oleh karena itu, pahamilah anak-anak kita. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan mereka. Tentu bukalah dahulu wawasan kita tentang kebutuhan-kebutuhan anak-anak kita. Barangkali terdapat potensi besar di balik kebutuhan-kebutuhan khusus mereka. Siapa tahu?

Rabu, Desember 11, 2013

Anak Kayak Gini, Kok Bisa Ya?

Pada suatu hari, salah satu stasiun TV swasta menayangkan suatu potongan wawancara dengan Kak Seto Mulyadi. Saya tidak ingat bahasan besar dari tayangan itu, tetapi yang saya ingat dari kata-kata Kak Seto itu adalah dialognya dengan seseorang yang dikritik oleh Kak Seto karena bersikap keras kepada anaknya. Kata Kak Seto, orang itu memberi tanggapan seperti ini: "Kak Seto, ini belum apa-apa. Dulu yang saya terima dari orang tua saya empat belas kali lebih keras daripada ini."

Empat belas kali? Bagaimana menghitungnya ya?

Sekedar cerita dulu: Pada mid semester kemarin, anak saya yang pertama dan kedua memberikan surat dari sekolah. Isinya tentang pembagian rapor, tapi kali ini disertai pembahasan hasil selama tri wulan ini dengan wali kelas selama 1/2 jam. Ya, masing-masing orang tua mendapat jadwal bertatap muka secara pribadi dengan wali kelas. Semacam konsultasi, begitu lah. Jadi kali ini tidak ada pembagian rapor di mana semua orang tua siswa berkumpul di satu ruangan kemudian dipanggil satu per satu ke depan ke meja guru untuk mengambil rapor anaknya.

Cerita saya kali ini tentang pertemuan dengan wali kelas anak saya yang pertama. Isi pertemuan pada awalnya membahas pencapaian akademik anak saya ini. Lumayan juga, rerata nilainya jika dibikin peringkat untuk satu kelasnya adalah nomor dua. Tapi terus terang, saya dan istri saya sebenarnya kurang begitu peduli tentang pencapaian akademik begituan. Bukan apa-apa ya, mungkin karena kami menganggap pencapaian akademik tadi hanya sebagian dari pencapaian anak kami, bukan satu-satunya yang harus diperhatikan. Ya, masih banyak lagi pencapaian anak kami yang harus kami perhatikan: sikap, kemandirian, kedewasaan, ...

Karena hal-hal selain pencapaian akademik bagi kami juga penting, makanya saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apa saja sih kekurangan anak saya ini? Dijawab oleh wali kelas anak kami ini bahwa anak kami ini kurang teliti dan kurang bisa menegur temannya yang berbuat tidak baik atau tidak semestinya. Hmm...ya, saya pikir anak kami ini memang perlu lebih teliti. Sekalipun bisa mengerjakan soal, kalau tidak teliti ya sama saja, tentu hasilnya akan jelek. Adapun kalau anak kami ini kurang bisa menegur temannya, ya mungkin saja dia masih merasa segan untuk menegur langsung temannya. Paling-paling yang dia bisa adalah menyampaikan ke wali kelasnya untuk ditindaklanjuti. Ya tidak apa-apa, mungkin masih dalam proses dalam nahy munkar.

Lebih lanjut, saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apakah anak saya ini bermasalah? Langsung saja wali kelas anak saya ini menjawab: "Oh, tidak, Pak. Justru saya bersyukur punya murid seperti anak Bapak ini yang tidak bermasalah". Iseng saja saya bertanya: "Apakah ada anak yang bermasalah?" Dijawab juga langsung oleh wali kelas anak saya ini: "Oh, banyak, Pak. Terutama yang laki-laki." Wah!

Lebih lanjut lagi, wali kelas anak saya ini menuturkan kelebihan-kelebihannya, misalnya mandiri dan hal-hal lain yang dimiliknya. Wah, saya sendiri cukup terkejut. Kok bisa ya? Padahal saya sendiri suka menegur anak saya ini yang kalau mengerjakan sesuatu di rumah masih belum menunjukkan kinerja yang sesuai standar saya.

Kinerja? Kok seperti bekerja di kantor saja ya? Terus apa hubungannya dengan kata-kata Kak Seto di atas?

Saya pikir, saya mungkin menggunakan standar "tinggi" buat anak saya. Padahal dengan usia seukuran anak saya ini, mungkin sebenarnya kinerjanya sudah cukup bagus, paling tidak di sekolahnya. Saya pikir lebih lanjut, ya barangkali karena saya memakai standar sebagaimana yang diterapkan orang tua saya dahulu kepada saya: bekerja harus sempurna menurut standar orang tua saya dan kalau tidak sesuai, ya harus terima "konsekuensi-konsekuensinya". Ini juga yang dipikir oleh istri saya tentang saya, yaitu bahwa sedikit banyak, "ajaran" orang tua ini kemudian menurun ke saya dan berpengaruh kepada saya dalam mengajari anak saya sendiri.

Bagus? Sebentar...

Kata-kata Kak Seto di atas sebenarnya menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa barangkali orang tua menerapkan sesuatu yang serupa dengan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu kepada anaknya. Memang bisa jadi lebih "ringan". Namun tetap saja terjadi kecenderungan yang sama di mana praktik yang dulu terjadi, berulang di kemudian hari. Alhamdu lillaah kalau praktik yang diulang adalah yang baik, tetapi bisa saja kan, yang berulang adalah kekerasan atau penyiksaan. Tidak mustahil, bukan?

Nah, saya pikir, sudah saatnya kita sebagai orang tua melihat kembali apakah cara-cara kita mendidik anak sudah tepat? Apakah bukan sekedar karena dahulu orang tua kita begini, maka ya sekarang kita menerapkan yang serupa. Padahal, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua kita, belum tentu apa yang dilakukan oleh orang tua kita itu benar semua. Kenapa? Karena tetap saja orang tua kita pun punya keterbatasan, sama dengan kita. Kalau karena keterbatasan kita kemudian kita berbuat sesuatu yang tidak tepat, berarti orang tua kita dahulu juga bisa begitu juga kan?

Selain itu, sebenarnya kita perlu untuk bisa menghargai kinerja yang sudah ditunjukkan oleh anak-anak kita. Bagaimana pun, kita harus menganggap bahwa mereka juga berupaya untuk menghasilkan kinerja yang bagus. Hanya saja, mungkin karena kita menggunakan standar yang terlalu tinggi buat mereka, akhirnya kita memandang mereka tidak berkinerja bagus. Padahal yang mereka tunjukkan sudah bagus, paling tidak buat usia dan lingkungan mereka.

Rabu, November 20, 2013

Speaking Freely

Apa ya, terjemahan bahasa Indonesia yang pas untuk speaking freely? Berbicara dengan bebas? Yah, apa sajalah, yang penting saya dapat ungkapan untuk "berbicara dengan bebas, dengan pengungkapan yang berasal dari olah pikir sendiri, tanpa tekanan atau didikte oleh orang lain". Mungkin ada yang tidak setuju dengan pengertian saya. Ya tidak apa-apa. Barangkali ada ungkapan lain yang lebih tepat, silakan koreksi saya.

Saya ingat waktu anak pertama kami masih kecil, sebelum usianya setahun. Kebetulan pada waktu itu, neneknya (ibunya istri saya) dan bibi-bibinya (saudari-saudari istri saya) ikut mengasuhnya. Kalau mengasuh, ya tentu saja ikut mengajak/mengajari bicara kepada anak saya ini. Kebetulan anak saya ini juga mau segera mengikuti kata-kata yang diajarkan tiap kali dia diminta untuk mengucapkan kata-kata itu. Hasilnya? Anak saya ini jadi lebih cepat dapat berbicara dengan lancar pada usia segitu.

Tapi ternyata metode yang diterapkan untuk anak saya yang pertama itu, tidak cocok untuk anak saya yang kedua. Kenapa? Karena anak saya yang ini tidak segera mau mengikuti kata-kata yang diajarkan kepadanya. Bahkan boleh dikata, setiap kali dia diminta untuk mengucapkan kata-kata itu, dianya cenderung diam. Sampai umur menjelang dua tahun pun, bisa dikatakan dia sedikit sekali bicara.

Namun siapa sangka, sekalipun anak kedua saya ini sedikit bicara, ternyata ketika dia bicara, dia bisa mengungkapkan kata-kata dengan jelas dan pas sesuai maknanya, bahkan dengan kata-kata atau kalimat yang saya pikir belum masanya diucapkan anak seusianya. Contohnya begini: Pada suatu malam, ketika anak kedua kami ini belum genap berusia setahun, dia tidur sekasur bersama kakaknya (Memang waktu itu begitu: dia dan kakaknya tidur bersama pada kasur besar). Kebetulan guling atau bantalnya (saya lupa) terpakai oleh kakaknya. Tentu saja tidak sengaja, karena mereka dalam keadaan tidur. Tapi kemudian anak kedua kami ini terbangun dan melihat miliknya dipakai oleh kakaknya. Dia segera mengambil miliknya sambil berkata: "Enak aja!"

Saya dan istri sebagai orang tuanya yang kebetulan waktu itu belum tidur tentu saja terkejut. Bagaimana tidak? Anak kami yang belum genap setahun dan kelihatannya susah diajari bicara ternyata mengucapkan kata-kata dengan jelas dan pas! (Siapa juga yang mengajari dia mengucapkan kata-kata itu?) Ini tentu saja tidak dinyana. Anak kami yang kelihatannya "terlambat bicara" ternyata sebenarnya sudah bisa bicara dengan semestinya, walaupun tidak "seramai" anak-anak lain seusianya (paling tidak yang kami kenal/ketahui).

Selanjutnya kami sebagai orang tua sebenarnya bisa dikatakan tidak pernah menuntun (atau mendikte) anak pertama dan kedua kami ini untuk mengucapkan sebuah kata atau kalimat. Kami biarkan saja keduanya berkomunikasi langsung dengan orang lain meskipun ada kata atau kalimat yang tidak jelas (Namanya juga masih kecil). Kalau ada kata atau kalimat yang tidak jelas seperti ini, biasanya kami meminta untuk mengulang omongan mereka sampai kami mengerti apa yang mereka maksud. Memang sepertinya ini memberatkan mereka, tetapi menurut pengamatan kami, cara seperti ini membuat tutur kata mereka menjadi berkembang karena mereka mudah menyerap tutur kata yang luas, tidak terbatas tutur kata yang dicontohkan kedua orang tua mereka. Sekalipun tentu saja ada tutur kata yang membuat kami terkaget-kaget, seperti yang saya contohkan di atas itu.

Cara kami seperti di atas kami terapkan juga untuk anak ketiga dan keempat kami. Kebetulan kedua anak kami ini seperti anak kedua kami ketika kecil. Maksudnya tidak mudah didiktekan suatu kata atau kalimat untuk ditiru. Sampai umur menjelang dua tahun pun bisa dikatakan kosa kata yang keluar dari mulut mereka tidak sebanyak anak-anak seusia mereka. Ya paling tidak yang kami kenal/ketahui. Kebetulan ada saudara juga yang mempunyai anak-anak seusia anak ketiga dan keempat kami ini. Karena kebetulan waktu itu dia tinggal bersama ibunya dan dapat dikatakan banyak urusan rumah tangga yang tidak dia urusi, bisa dikatakan urusan sehari-harinya ya hanya mengurus anak-anaknya saja. Makanya kosa kata anak-anaknya itu bisa cukup banyak, sebagaimana yang diajarkan ibunya. Oh ya, kebetulan saudara kami ini cukup dominan dalam mendikte anak-anaknya dalam bertutur kata. Makanya tidak aneh kalau cara bertutur kata anak-anaknya, termasuk dalam merespon sesuatu, persis benar dengan yang diajarkan ibunya.

Namun siapa sangka, anak ketiga dan keempat kami ini setelah berumur dua tahun mempunyai perkembangan bahasa yang sangat pesat. Tutur kata yang keluar menjadi sangat banyak dan seperti anak kami yang kedua, banyak di antara tutur kata mereka yang membuat kami terkaget-kaget. Mungkin karena banyak "guru"-nya, cara mereka bertutur kata pun sangat beragam. Ada cara tutur kata kami yang mereka serap, tapi ada pula cara tutur kata dari "luar" yang sering membuat dahi kami berkerut, marah, atau malah tertawa-tawa. Dan jangan heran, mereka pun bisa berkomentar, atau mengajukan protes dengan "lancar". Yah, begitulah..speaking freely!

Selasa, November 19, 2013

Itu Cuma Wadahnya, Tergantung Kita Yang mengisinya

Tahun 2013 ini adalah waktunya bagi anak kami yang ketiga untuk masuk Sekolah Dasar. Namun atas dasar pertimbangan ini dan itu, akhirnya kami mendaftarkannya ke Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) tempat kakak-kakaknya bersekolah. Sebagaimana beberapa sekolah Islam yang lain, di MIS ini dilakukan tes kematangan kepada anak-anak yang didaftarkan untuk masuk. Dan pada awal tahun ini anak kami menjalani tes kematangan tersebut di MIS itu.

Karena kebetulan saya harus bekerja dan ibunya (maksud saya: istri saya) harus mengantar jemput adiknya (anak kami yang keempat) yang bersekolah juga di suatu PAUD yang jaraknya berjauhan dengan MIS itu, maka kami orang tuanya tidak bisa menungguinya selama menjalani tes. Kami titipkan saja dia kepada kakak-kakaknya. Maksudnya titip untuk dilihat-lihat selama tes dan kalau sudah selesai tes, ya ditemani.

Setelah menjemput anak kami yang keempat, istri saya langsung menjemput anak kami yang ketiga. ALhamdu lillaah anak kami ini bisa menjalani tes dengan lancar. Setelah selesai tes juga tidak ribut mencari-cari orang tuanya. Kata istri saya, anak kami ini setelah selesai tes, ya asyik saja lihat kakak-kakaknya bermain bersama teman-temannya. Bahkan ketika dia diajak pulang pun, masih sempat berkata "tunggu dulu". Mungkin masih merasa asyik melihat calon kakak-kakak angkatannya bermain-main di sekolah itu.

Beberapa bulan kemudian, ada undangan atau panggilan dari pihak sekolah (MIS di atas) kepada kami untuk melakukan konsultasi dengan psikolog yang melakukan tes kematangan pada anak kami. Karena istri saya tidak bisa hadir, akhirnya saya yang hadir sendirian untuk keperluan konsultasi ini. Dan singkat cerita, akhirnya saya datang pada hari dan jam yang ditentukan untuk konsultasi dengan sang psikolog.

Pada sesi konsultasi di atas, sang psikolog menerangkan terlebih dahulu istilah-istilah dan pengertian-pengertiannya dari skala yang dipakai untuk mengukur kematangan anak kami. Dan singkat cerita, pada kesempatan itu, sang psikolog menyampaikan bahwa anak kami mempunyai tingkat kemampuan yang di atas rata-rata, bahkan untuk beberapa hal, kemampuannya setingkat dengan anak yang usianya jauh di atasnya.

Saya pikir, "Ah masa sih?". Saya sendiri merasa bahwa anak saya itu biasa-biasa saja. Memang ada hal-hal yang sejujurnya saya bisa katakan istimewa atau tidak biasa pada anak saya itu, dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (paling tidak yang kami kenal/temui). Makanya saya kemudian menanyakan, bagaimana metode yang dipakai untuk pengukuran itu, demi untuk meyakinkan diri saya sendiri atas pernyataan sang psikolog. Sang psikolog kemudian membeberkan secara singkat metode-metode yang dipakai dalam pengukuran untuk menjawab pertanyaan saya di atas. Memang ada hal-hal yang tetap tidak bisa saya mengerti, tapi secara umum saya bisa terima penjelasannya.

Ada hal yang cukup membuat saya berpikir cukup dalam dari penjelasan sang psikolog, yaitu kemampuan-kemampuan anak kami yang di atas rata-rata anak seusianya menurut hasil tes: "Itu cuma wadahnya saja, tergantung kita yang mengisinya". Saya memahaminya seperti ini: Hasil tes cuma menunjukkan potensi-potensinya saja, tergantung orang tuanya untuk menumbuhkembangkannya setelah itu dalam proses pendidikan anaknya.

Saya jadi teringat hadits Nabi Muhammad SAW di mana beliau menyebutkan bahwa tiap anak itu dilahirkan atas fitrahnya. Kemudian orang tuanya yang akan mengislamkannya, atau membuatnya jadi yahudi, nasrani, atau majusi. Dalam hadits ini jelas sekali diindikasikan bahwa anak itu sudah diberi potensi untuk baik dan dipastikan bahwa orang tua sangat berperan dalam membentuk si anak tersebut.

Makanya saya kemudian berpikir bahwa bisa jadi pada anak yang dipandang orang tuanya biasa-biasa saja, terdapat potensi yang besar sekali. Tinggal orang tuanya apakah bisa melihat potensi tersebut ataukah tidak. Mungkin perlu bantuan orang lain dalam menggali potensi anak (Kenapa tidak?). Kemudian ya tinggal orang tuanya lagi yang harus bisa membentuk anak dengan segala potensinya itu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Semoga Allah SWT memudahkan jalan kami dalam mendidik anak-anak kami sehingga dapat menjadi orang-orang yang shalih-shalihah yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain/masyarakat.

Jumat, November 15, 2013

Sumur Resapan, Salah Satu Solusi Masalah Perkotaan

Beberapa waktu yang lalu, salah satu saudara sepupu saya mengangkat topik tentang sumur resapan ke dalam milis yang kebetulan juga saya ikuti. Beberapa tanggapan kemudian muncul, kebanyakan dukungan, sekalipun ada juga tanggapan yang menunjukkan kekurangmengertian mengenai apa itu sumur resapan.

Saya sendiri sebenarnya juga kurang begitu mengerti. Pernah juga sih, saya melihat gambar-gambar yang menunjukkan rancangan atau susunan dari sumur resapan itu, tapi sangat sedikit penjelasannya. Kemudian baru-baru ini saya melihat dari salah satu artikel di situs Balitbang PU (http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20130218003736.pdf) yang menjelaskan hal-ihwal sumur resapan. Hanya sayang, artikel ini sudah tidak ditayangkan lagi pada situs tersebut. Tapi ada infopublik yang serupa pada situs PU (http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20130218003736.pdf). Dari penjelasan di situ, barulah "mozaik" pengetahuan saya tentang sumur resapan menjadi lebih lengkap.

Ternyata penelitian tentang sumur resapan ini sudah cukup lama. Penerapannya pun cukup sudah cukup lama dilakukan. Namun dalam pandangan saya, penyebarluasan penerapannya masih sangat kurang, padahal kegunaan sumur resapan ini cukup besar, terutama untuk daerah perkotaan.

Dari segi tujuan, sumur resapan ini dapat menggantikan peresap alami yang hilang atau berkurang akibat meluasnya lahan pembangunan yang menjadi kedap tertutup bangunan/jalan, dengan cara mendrainasekan sebagian aliran permukaan sebagai subtitusi peresap alami yang terjadi sebelum dilakukan pembangunan. Sumur resapan ini perlu dibangun pada daerah-daerah yang mengalami beberapa permasalahan-permasalahan: adanya tendensi bahwa lahan peresap alami makin menyempit, melimpahnya air permukaan di musim hujan, tetapi sumur-sumur penduduk mengalami kekeringan di musim kemarau. Penerapan sumur resapan ini bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti: mengimbangi perubahan penggunaan lahan, mengurangi banjir dan genangan lokal, mengurangi beban dan mencegah kerusakan sarana drainase permukaan, dan menambah cadangan air tanah sebagai usaha konservasi air. Bagus, bukan?

Masih teringat dalam ingatan, bagaimana dahulu di tempat yang saya tinggali bersama keluarga sebelum kami tinggal di rumah kami sekarang, pada musim kemarau saya harus memesan air dalam jerigen atau mengambil air dari sumur di masjid, karena sumur-sumur warga, termasuk yang ada pada kami, mengering pada saat musim kemarau. Dan saya yakin, di kota-kota atau daerah-daerah lain terdapat masalah yang serupa. Oleh karena itu, pembangunan sumur resapan di kota atau daerah seperti ini patut dipertimbangkan untuk diterapkan sebagai salah satu solusi masalah perkotaan.

Namun seperti sudah saya sebut di atas, bagusnya hal-ihwal tentang sumur resapan ini kurang disadari oleh masyarakat, bahkan oleh aparat pemerintah. Ini terbukti dari tidak adanya penerapan kebijakan dari pemerintah yang membumi dan disebarluaskan di masyarakat. Memang benar, bahwa ada pemerintah daerah yang telah membuat peraturan daerah untuk menerapkan sumur resapan di masyarakat. Tetapi, bagaimana tindak lanjut dan ketegasan dari peraturan daerah ini? Bagaimana pula dengan pemerintah daerah yang lain?

Menurut saya, tidak bisa tidak, harus ada kebijakan pemerintah yang tegas untuk penerapan sumur resapan ini. Tetapi tentu saja peraturan ini haruslah membumi, artinya mudah dilaksanakan oleh masyarakat. Tentunya pula diperlukan dukungan pemerintah bagi masyarakat yang hendak menerapkan atau membangun sumur resapan, misalnya saja dukungan dengan bimbingan teknis, atau subsidi pembangunannya. Dengan begini, tentu masyarakat akan lebih mudah mengikuti peraturan tadi, karena tahu akan didukung oleh pemerintahnya.

Pembangunan sumur resapan pada bangunan yang baru mestinya lebih mudah. Pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dapat menyertakan keharusan membangun sumur resapan, baik itu yang dibangun oleh pribadi atau pengembang untuk perumahan. Dengan demikian, pemilik rumah pribadi tersebut atau sang pengembang harus sudah memasukkan biaya pembangunan sumur resapan itu ke dalam rencana anggaran biayanya. Tetapi tentu saja, sekali lagi ini tetap harus didukung pemerintah sebagaimana telah saya sebutkan di atas.

Lalu bagaimana dengan rumah yang sudah jadi tetapi belum ada sumur resapannya? Di pemukiman yang terdiri dari rumah-rumah yang berukuran kecil, pembangunan sumur resapan mungkin sekali dilakukan dengan cara patungan. Artinya satu sumur resapan untuk beberapa rumah. Cara ini juga bisa dilakukan untuk komplek industri atau komplek perkantoran. Tetapi sekali lagi, tetap saja ini harus mendapat dukungan pemerintah.

Ya memang, penerapan dari semua yang saya sebut di atas itu butuh waktu. Di komplek saya sendiri, sumur resapan belum ada, sekalipun di dekat rumah saya ada penampungan air yang cukup memberikan kontribusi bagi keberadaan air di lingkungan warga saya. Memang butuh sosialisasi dulu yang sering dan luas sebelum peraturan diterapkan. Dan ini lagi-lagi kembali pada adanya dukungan pemerintah atau tidak.

Nah, bagaimana dengan Anda?

Rabu, Mei 29, 2013

Kepasrahan Luar Biasa

Akhir September 2012 yang lalu, saya terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan tempat saya bekerja waktu itu. Tidak pernah ada diskusi sebelumnya untuk PHK ini (sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2009), diputuskan begitu saja dari pemilik perusahaan. Mengagetkan? Memang. Bagaimana tidak? Pihak manajemen datang pada jam kerja, minta bertemu saya, dan begitu bertemu secara tertutup, langsung memberitahukan bahwa saya diberhentikan. Mengherankan juga, karena saya tidak pernah melalaikan tugas, bahkan semua tugas (baik yang saya "sukai" maupun yang tidak) selalu bisa saya selesaikan dengan semua laporannya, bahkan sebelum tenggat waktunya.

Saya sendiri merasa tidak punya kesalahan. Mungkin Anda bertanya, bagaimana saya tahu bahwa itu semua bukan kesalahan saya? Ya tentu saja dari alasan yang disampaikan pihak manajemen kepada saya. Kalau alasannya karena kesalahan saya, ya mestinya ada peringatan dulu sebelumnya, semacam SP (Surat Peringatan) lah: SP1, SP2, dst sampai PHK.

Tapi sudahlah, tidak usah membahas yang begituan. Secara prinsip, itu qadar dari Allah, sekalipun qadar yang buruk. Sebagai orang beriman, ya harus tetap mengimani qadar Allah, baik atau buruk. Dan seharusnya orang beriman selalu berpikir positif dan bersikap dengan benar: kalau mendapat kebaikan ya bersyukur, kalau mendapat keburukan ya bersabar, maka in syaa'allaah semua keadaan menjadi kebaikan. Secara khusus, bahkan jika mendapat musibah, Nabi Muhammad mengajarkan untuk membaca doa: "Allaahumma'jurnii fii mushiibatii wakh-luf lii khairan minhaa" (Ya Allah, berilah aku ganjaran dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya).

Oh ya, karena saya masih diberi perpanjangan bekerja selama satu bulan (yang sebenarnya hanyalah waktu untuk mentransfer kerjaan kepada teman satu departemen yang "selamat"), maka pada hari pemberitahuan PHK itu, saya masih bekerja sampai sore dengan semestinya. Malamnya setelah di rumah dan setelah semua anak-anak tidur, baru saya ajak istri saya untuk mengobrol. Dengan pelan-pelan saya ceritakan kejadian pemberitahuan PHK tadi kepadanya. Pada awalnya istri saya cukup terkejut dengan apa yang telah terjadi itu, terlihat dari perubahan wajahnya. Tapi kemudian wajahnya kembali biasa lagi.

Satu hal yang membuat saya merasa bersemangat adalah ketika saya kemudian bertanya kepada istri saya, apakah dia tetap akan mendukung saya dalam kondisi begini, sekalipun nanti saya tidak lagi bisa memberi sebanyak sebelum saya kena PHK? Jawabnya ya, dia akan tetap mendukung saya. Dia katakan bahwa rizqi sudah ada yang mengatur, yaitu Allah.

Sampai saat tulisan ini ditulis, memang ternyata apa yang saya dapat dari pekerjaan saya sekarang tidaklah sebanyak saat saya bekerja di perusahaan sebelumnya yang melakukan PHK di atas. Bahkan bisa dikatakan bahwa yang saya dapat sekarang jauh lebih kecil. Tapi hebatnya istri saya, tetap saja dia tidak mengeluh atau menunjukkan ketidaksukaan dengan kondisi saya saat ini. Memang ada saja kondisi keuangan yang membuat kami kadang-kadang harus berpikir dalam-dalam, memutar otak supaya dapat mengatasi kondisi yang ada. Dan alhamdulillaah, sekalipun bisa kami jalani dengan tertatih-tatih karena kondisi yang berat ini, dengan entengnya istri saya berkata bahwa tetap saja kami dapat hidup, bukan?

Hmm..memang kepasrahan yang luar biasa...