PENDAHULUAN
Artikel ini disusun sebagai upaya untuk memberikan wawasan yang lebih baik, menindaklanjuti capaian-capaian yang ada dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam bermasyarakat. Bagaimanapun apa yang sudah ada/dicapai sekarang ini oleh umat Islam merupakan kondisi positif, salah satunya dengan sudah terbentuknya lembaga-lembaga sosial dan keuangan yang mengacu kepada prinsip-prinsip syariah, walaupun yang disebut prinsip syariah ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sekira 1400 tahun yang lalu.
Dibandingkan dengan bidang pendidikan yang mengajarkan
Islam, bidang keuangan syariah (yang tentu terkait dengan perniagaan, pinjam
meminjam, hutang, dan lain-lain) berkembang terlambat. Lembaga pendidikan Islam
sudah cukup “tua” sedangkan lembaga keuangan syariah bisa dikatakan berkembang
dengan lambat dimana dari segi jumlah dan cakupan layanannya jauh lebih
sedikit.
Oleh karena itu, pembahasan tentang ekonomi Islam perlu
mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih besar. Hal ini harus dimengerti
karena Islam sebagai suatu sistem sebenarnya mencakup semua aspek kehidupan,
termasuk ekonomi. Pengamalan Islam yang menyeluruh demi kebaikan agama kita
sendiri, mestinya dipertimbangkan dengan juga mencakup aspek ekonomi ini juga,
tidak hanya urusan shalat, puasa, zakat, haji, nikah, atau cerai. Bahkan justru
kita harus menganggap bahwa urusan ekonomi ini juga termasuk dalam urusan
ibadah juga sehingga mau tidak mau, berat atau ringan, harus kita amalkan juga.
LABEL
SYARIAH
Sekarang ini, jika kita melihat sesuatu, misalnya lembaga, yang berlabelkan “Syariah”, maka mudah sekali bagi kita untuk mengatakan bahwa lembaga itu bersandarkan ajaran Islam. Sekilas memang tidak salah. Namun penempatan label syariah ini seharusnya dilandaskan pada adanya upaya untuk benar-benar menerapkan ajaran Islam di dalamnya, bukan semata untuk mengonversi atau menukar dari sesuatu yang tadinya “salah” menjadi “bisa diterima umat Islam”.
Hal di atas ini penting karena seolah-olah jika dilabeli
syariah, maka umat Islam akan bisa menerima, atau melakukannya, karena sudah
“halal”. Ini berbahaya, karena kalau tidak disikapi dengan benar, maka
pelabelan ini bisa menjadi salah kaprah dimana sesuatu yang salah jadi benar
karena label, misalnya orang menyebut “pacaran syariah”, padahal pacaran itu
tidak ada dalam Islam, merupakan perbuatan munkar, dan tidak bisa jadi halal
karena label. Ini berbeda dengan perniagaan atau jual-beli karena praktek ini memang
diatur dalam Islam. Kenapa harus diatur? Praktek jual-beli sudah ada sebelum
Muhammad SAW dijadikan Rasulullah, tetapi Islam mengatur praktek mana yang
dibolehkan dan mana yang dilarang sehingga ada perniagaan yang sesuai syariah
dan ada juga yang melanggar syariah.
Pelabelan syariah sendiri menurut penulis sebenarnya tidak perlu
kalau semua umat Islam sudah secara konsisten menjalankan agama secara
keseluruhan. Namun kenyataannya adalah masih banyak umat Islam yang tidak tahu
agamanya sendiri, tidak tahu penerapan ajaran Islam dalam aspek-aspek
kehidupan, sehingga akhirnya sadar atau tidak, lebih memilih yang di luar
Islam, bahkan hingga mengatakan bahwa yang di luar itu “sama saja” atau malah
parahnya adalah “lebih baik”.
Oleh karena itu, pelabelan dalam arti menyematkan “syariah”
sebagai status atau identitas menjadi semacam “pembeda” dari yang ada sekarang
ini bisa dikatakan perlu supaya umat Islam bisa dibawa kepada pengertian yang
lebih terarah dan selanjutnya pada pemikiran dan tindakan yang diharapkan,
yaitu lebih memilih yang syariah ini, dibandingkan memilih yang lain.
PENGETAHUAN
MASYARAKAT
Sebagaimana sudah disinggung di atas, pengetahuan umat Islam pada umumnya bisa dikatakan kurang tentang ajaran agamanya sehingga tidak mengherankan jika penerapan aspek ekonomi Islam juga kurang. Dan ini seperti lingkaran saja di mana penerapan ajaran Islam yang kurang juga memberikan dampak terhadap pengetahuan yang tidak bertambah juga. Dalam kalimat lain: Kalau pengetahuan bertambah, maka seharusnya penerapannya juga bertambah, sedangkan kalau penerapan bertambah, maka akan meningkatkan pengetahuan juga.
Oleh karena itu, sudah semestinya juga terutama ulama
sebagai kalangan cerdik pandai menempati peran lebih dalam mengintensifkan
upaya untuk meningkatkan pengetahuan umat Islam dengan dakwah dan taklim.
Dengan dakwah, umat Islam diajak datang untuk lebih mendalami ajaran agamanya.
Yang sudah mau datang, diajari dengan intensif supaya pengetahuannya bertambah
dan lebih dalam.
Dalam pandangan penulis, seandainya pengetahuan umat Islam
bertambah dan tentu juga dalam penerapan pengetahuan itu, maka sesuangguhnya
pelabelan syariah tidak perlu lagi, karena umat Islam sudah secara amal
menerapkan ajaran Islam dalam aspek-aspek kehidupan mereka.
BAHASAN
FIKIH
Sejatinya ulama sudah membahas ekonomi Islam sejak dahulu kala. Pembahasan yang ada pun sebenarnya sudah sangat dalam, bahkan pembahasan suatu hal kadang dilakukan dengan sangat rinci hingga ke urusan yang mungkin sangat jarang terjadi. Namun masalahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas, yaitu kebanyakan umat Islam sedikit mempelajari ajaran agamanya sehingga pembahasan ulama yang tertuang dalam sekian banyak kitab pun jadi tidak diperhatikan, padahal banyak pengetahuan di dalamnya yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis perlu menyebutkan satu kitab (yang bisa dikatakan
sebagai kitab fikih) dengan judul Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam
(yang mempunyai arti: “Mencapai Keinginan Melalui Dalil-Dalil Hukum”) yang
disusun oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, seorang Qodhi (hakim) Islam di Mesir abad
ke-9 H. Kitab ini cukup menarik karena merupakan kitab yang cukup ringkas yang
secara fisik tidak terlalu tebal jika dipandang sebagai umumnya sebuah buku
zaman sekarang. Namun dari segi isi, terdapat banyak keistimewaan dalam kitab
ini walaupun kitab ini sebenarnya kitab yang ditulis sebagai hadiah dan
persembahan Ibnu Hajar untuk putranya, sebagai materi untuk mendidik anaknya
dengan ilmu Islam[1].
Metode yang digunakan oleh Ibnu Hajar dalam menyusun kitab
ini ialah dengan metode tematis (maudhu’i) berdasarkan tema-tema fikih, mulai
dari Bab Bersuci (Thaharah) sampai Bab Kompilasi (al-Jami’). Ia
menyeleksi beberapa hadits dari kitab-kitab shahih, sunan, mu’jam, dan
al-Jami yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih[2].
Terkait dengan Ekonomi Islam, kitab (yang secara singkat
penulis sebut sebagai Bulughul Marom) ini menyebutkan hadits-hadits yang
cukup banyak dalam bagian yang disebut sebagai Kitabul Buyu’ (Kitab Jual
Beli). Bagian ini membahas banyak hal dalam perniagaan secara khusus maupun
ekonomi secara umum. Menurut penulis, bahasan di sini merupakan bahasan aktual,
artinya jika dipelajari secara mendalam, maka penerapannya masih berlaku hingga
sekarang, walaupun tentu memerlukan bahasan teknis sebagaimana umumnya dalam
menerapkan suatu hukum.
Sayangnya adalah kembali bahwa kebanyakan umat Islam sedikit
mempelajari ajaran agamanya, sehingga kitab yang sebenarnya sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia sejak masa Indonesia merdeka ini pun jarang dilirik.
Padahal sekarang pun buku terjemahnya mudah diperoleh di toko-toko buku karena
penerjemah maupun penerbitnya sudah cukup banyak, walaupun tentu saja untuk
mempelajari tetap membutuhkan bimbingan guru yang kompeten, tidak bisa dibaca
begitu saja sendiri. Jadi sudah beli dan punya, tentu tidak cukup. Harus
berguru juga dengan benar.
AKTUALISASI PADA MASYARAKAT
Walaupun penulis memandang bahwa belajar itu merupakan awal dari semuanya yang artinya bahwa ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bukhariy[3], tetapi para cerdik pandai semestinya mencari cara supaya ajaran Islam itu bisa diterapkan di masyarakat tanpa diartikan bahwa semua umat Islam harus pintar dahulu mengenai ajaran agama, baru kemudian diamalkan. Dalam prakteknya, penulis berpendapat bahwa ulama lah yang harus mempelajari secara mendalam sembari mengajarkannya kepada umat. Namun mana-mana ajaran yang bisa diterapkan, ya ulama terapkan saja pada masyarakat sebagai aktualisasi ajaran Islam itu.
Bagaimana cara untuk aktualisasi ajaran Islam pada
masyarakat itu? Hal yang penting diperhatikan dalam hal ini tentunya adalah
bertahap. Selain itu haruslah bisa menjangkau sampai tataran teknis yang
solutif karena orang awam tidak dengan mudah dapat mengakses teori dalam ajaran
agama, tetapi seringkali membutuhkan jawaban langsung terhadap masalah-masalah
yang mereka hadapi. Dan tentu ini semua tetap harus di bawah bimbingan cerdik
pandai yang kompeten.
Oleh karena itu, bahasan tentang ekonomi Islam perlu
mencakup tataran teknis yang bahkan perlu menjangkau hingga tingkat masyarakat
yang mikro, misalnya lingkup kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT. Kenapa ini
diperlukan?
Penulis melihat bahwa sebenarnya Indonesia ini mempunyai
banyak akademisi ekonomi Islam, bahkan ada jurusan/departemen di perguruan
tinggi yang menyelenggarakan program studi ekonomi Islam, tetapi dampaknya
kurang terhadap masyarakat. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya
praktek di masyarakat yang dianggap biasa, misalnya mudahnya umat Islam
meminjam uang dari rentenir, kecurangan dalam timbangan/takaran, dan
sebagainya.
Jangan-jangan bahasan ekonomi Islam selama ini terlalu
teoritis dan makro sehingga hanya menjangkau tataran yang tinggi dan tidak bisa
dimengerti oleh masyarakat. Begitu dihadapkan kepada masalah-masalah lapangan
di lingkup kecil (katakanlah kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT), ternyata tidak
aplikatif dan tidak bisa menjadi solusi. Bisa jadi ini karena para akademisi
masih lebih banyak menyentuh tataran teori daripada teknis, atau bahkan yang
parahnya adalah “memaksakan” untuk memasukkan teori ekonomi dari luar ke dalam
ekonomi umat Islam sehingga umat malah tidak bisa melihat keluhuran ajaran
Islam dalam ekonomi, tetapi malah menelan teori yang sejatinya bukan untuk
diamalkan.
Oleh karena itu, penulis melihat bahwa ekonomi Islam bisa
lebih aplikatif jika teorinya bisa ditindaklanjuti sampai teknis. Misalnya
dalam lingkup kecil bisa diupayakan untuk menggalang potensi untuk meniadakan
praktek pinjam ke rentenir dengan menyediakan pembiayaan yang sesuai syariah.
Atau menerapkan kerjasama bisnis dengan penyertaan modal dengan pola bagi hasil
yang sesuai syariah. Dan banyak lagi yang lain. Intinya adalah menerapkan
syariah pada praktek-praktek ekonomi yang sehari-hari ada di masyarakat.
FORMALISASI
PADA MASYARAKAT
Penulis melihat bahwa penerapan-penerapan ekonomi Islam di atas bisa diformalkan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat. Contoh nyatanya sebenarnya sudah banyak dan bahkan sudah ada yang tercakup dalam peraturan-peraturan dari pemerintah dengan berbagai macam bentuk dan tingkat peraturan tersebut. Makanya kita bisa dapati bagaimana misalnya perbankan syariah bisa dibentuk secara formal dan bahkan masuk dalam ruang lingkup kerja OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di samping adanya komite nasional khusus untuk ini, yaitu Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang memang punya tugas juga untuk mengembangkan perbankan syariah[4]. Artinya pengakuan itu sudah ada dan patut disyukuri. Namun itu semua tentunya mudah dilihat sebagai lembaga besar yang di lain sisi mungkin juga terlihat sebagai lembaga yang tidak mudah diakses oleh masyarakat kecil.
Oleh karena itu, penerapan ekonomi Islam secara formal pada
ruang lingkup yang lebih kecil patut dipertimbangkan. Salah satu yang penulis
pandang sebagai formalisasi ekonomi Islam yang mudah di sini adalah (termasuk
tapi tidak terbatas pada) koperasi karena koperasi bisa bermula dari sekumpulan
orang di masyarakat yang kemudian bisa ditingkatkan sesuai dengan peraturan
pemerintah yang ada. Tentu koperasi yang dimaksud ini adalah koperasi syariah,
yaitu bentuk koperasi yang segala kegiatan usahanya bergerak di bidang
pembiayaan, simpanan pokok, sesuai dengan pola bagi hasil “Syariah” dan
investasi[5].
MOTIVASI
Di Masjid Baitul Mu’min, RW 15 Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, telah berdiri Koperasi Konsumen Syariah Baitul Mu’min (KSBM). KSBM berdiri pada awalnya didorong untuk menjadi solusi atas merajalelanya rentenir yang menawarkan pinjaman kepada masyarakat di lingkungan RW, padahal siapa saja yang sudah “terjebak” bisa mendapatkan “buntut panjang” masalah yang dia masuki.
Dalam prakteknya, KSBM dengan label syariah tentunya
mempunyai tanggung jawab juga dalam menerapkan ekonomi Islam sesuai lingkup
layanannya hingga mengedukasi anggota dan bahkan lingkungan sekitarnya untuk
menyadari bahwa Islam memberikan solusi melalui aspek ekonomi yang
mudah-mudahan dapat berdampak secara khusus bagi jamaah masjid dan masyarakat
RW dan secara umum bagi lingkungan yang lebih luas.
Dengan semakin banyaknya layanan KSBM, lambat laun
masyarakat RW, terutama jamaah masjid, dapat memperoleh layanan koperasi yang semakin
bisa menjadi solusi masalah-masalah mereka, terutama dalam aspek keuangan dan
bisnis (penghasilannya dan keluarga).
Motivasi di atas akan menjadi motivasi yang terus
dipupukkembangkan bagi perjuangan para pengurus KSBM sehingga dapat memberikan
manfaat yang lebih besar dan luas. Mudah-mudahan motivasi ini juga bisa menjadi
inspirasi dan memotivasi umat Islam yang lain untuk bisa menumbuhkembangkan
ekonomi Islam sehingga umat bisa lebih tahu, tertarik, semakin banyak
mempelajari, dan mengamalkan ajaran Islam yang penuh barokah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
https://irtaqi.net/2016/09/01/introduksi-kitab-bulughul-maram-ii/
diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:01
[2]
https://risalahmuslim.id/apa-itu-bulughul-maram/
diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:46
[3]
https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html
diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:50
[4]
https://knks.go.id/berita/288/gandeng-kneks-kementerian-koperasi-dan-ukm-dorong-pengembangan-koperasi-syariah?category=1
diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:34
[5]
https://ajaib.co.id/apa-itu-koperasi-syariah-pelajari-di-sini-yuk/
diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:31
Selesai pada hari
Sabtu, jam 14:50, 25 Jumadil Awwal 1442/9 Januari 2021
Ditulis untuk
bulletin Al-Tafkir, masjid Baitul Mu’min, edisi Jumadil Akhir 1442
Diterbitkan kembali di Blog pribadi ini sebagai dokumentasi