Senin, Januari 18, 2021

EKONOMI ISLAM

PENDAHULUAN

Artikel ini disusun sebagai upaya untuk memberikan wawasan yang lebih baik, menindaklanjuti capaian-capaian yang ada dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam bermasyarakat. Bagaimanapun apa yang sudah ada/dicapai sekarang ini oleh umat Islam merupakan kondisi positif, salah satunya dengan sudah terbentuknya lembaga-lembaga sosial dan keuangan yang mengacu kepada prinsip-prinsip syariah, walaupun yang disebut prinsip syariah ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sekira 1400 tahun yang lalu.

Dibandingkan dengan bidang pendidikan yang mengajarkan Islam, bidang keuangan syariah (yang tentu terkait dengan perniagaan, pinjam meminjam, hutang, dan lain-lain) berkembang terlambat. Lembaga pendidikan Islam sudah cukup “tua” sedangkan lembaga keuangan syariah bisa dikatakan berkembang dengan lambat dimana dari segi jumlah dan cakupan layanannya jauh lebih sedikit.

Oleh karena itu, pembahasan tentang ekonomi Islam perlu mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih besar. Hal ini harus dimengerti karena Islam sebagai suatu sistem sebenarnya mencakup semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Pengamalan Islam yang menyeluruh demi kebaikan agama kita sendiri, mestinya dipertimbangkan dengan juga mencakup aspek ekonomi ini juga, tidak hanya urusan shalat, puasa, zakat, haji, nikah, atau cerai. Bahkan justru kita harus menganggap bahwa urusan ekonomi ini juga termasuk dalam urusan ibadah juga sehingga mau tidak mau, berat atau ringan, harus kita amalkan juga.

LABEL SYARIAH

Sekarang ini, jika kita melihat sesuatu, misalnya lembaga, yang berlabelkan “Syariah”, maka mudah sekali bagi kita untuk mengatakan bahwa lembaga itu bersandarkan ajaran Islam. Sekilas memang tidak salah. Namun penempatan label syariah ini seharusnya dilandaskan pada adanya upaya untuk benar-benar menerapkan ajaran Islam di dalamnya, bukan semata untuk mengonversi atau menukar dari sesuatu yang tadinya “salah” menjadi “bisa diterima umat Islam”.

Hal di atas ini penting karena seolah-olah jika dilabeli syariah, maka umat Islam akan bisa menerima, atau melakukannya, karena sudah “halal”. Ini berbahaya, karena kalau tidak disikapi dengan benar, maka pelabelan ini bisa menjadi salah kaprah dimana sesuatu yang salah jadi benar karena label, misalnya orang menyebut “pacaran syariah”, padahal pacaran itu tidak ada dalam Islam, merupakan perbuatan munkar, dan tidak bisa jadi halal karena label. Ini berbeda dengan perniagaan atau jual-beli karena praktek ini memang diatur dalam Islam. Kenapa harus diatur? Praktek jual-beli sudah ada sebelum Muhammad SAW dijadikan Rasulullah, tetapi Islam mengatur praktek mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang sehingga ada perniagaan yang sesuai syariah dan ada juga yang melanggar syariah.

Pelabelan syariah sendiri menurut penulis sebenarnya tidak perlu kalau semua umat Islam sudah secara konsisten menjalankan agama secara keseluruhan. Namun kenyataannya adalah masih banyak umat Islam yang tidak tahu agamanya sendiri, tidak tahu penerapan ajaran Islam dalam aspek-aspek kehidupan, sehingga akhirnya sadar atau tidak, lebih memilih yang di luar Islam, bahkan hingga mengatakan bahwa yang di luar itu “sama saja” atau malah parahnya adalah “lebih baik”.

Oleh karena itu, pelabelan dalam arti menyematkan “syariah” sebagai status atau identitas menjadi semacam “pembeda” dari yang ada sekarang ini bisa dikatakan perlu supaya umat Islam bisa dibawa kepada pengertian yang lebih terarah dan selanjutnya pada pemikiran dan tindakan yang diharapkan, yaitu lebih memilih yang syariah ini, dibandingkan memilih yang lain.

PENGETAHUAN MASYARAKAT

Sebagaimana sudah disinggung di atas, pengetahuan umat Islam pada umumnya bisa dikatakan kurang tentang ajaran agamanya sehingga tidak mengherankan jika penerapan aspek ekonomi Islam juga kurang. Dan ini seperti lingkaran saja di mana penerapan ajaran Islam yang kurang juga memberikan dampak terhadap pengetahuan yang tidak bertambah juga. Dalam kalimat lain: Kalau pengetahuan bertambah, maka seharusnya penerapannya juga bertambah, sedangkan kalau penerapan bertambah, maka akan meningkatkan pengetahuan juga.

Oleh karena itu, sudah semestinya juga terutama ulama sebagai kalangan cerdik pandai menempati peran lebih dalam mengintensifkan upaya untuk meningkatkan pengetahuan umat Islam dengan dakwah dan taklim. Dengan dakwah, umat Islam diajak datang untuk lebih mendalami ajaran agamanya. Yang sudah mau datang, diajari dengan intensif supaya pengetahuannya bertambah dan lebih dalam.

Dalam pandangan penulis, seandainya pengetahuan umat Islam bertambah dan tentu juga dalam penerapan pengetahuan itu, maka sesuangguhnya pelabelan syariah tidak perlu lagi, karena umat Islam sudah secara amal menerapkan ajaran Islam dalam aspek-aspek kehidupan mereka.

BAHASAN FIKIH

Sejatinya ulama sudah membahas ekonomi Islam sejak dahulu kala. Pembahasan yang ada pun sebenarnya sudah sangat dalam, bahkan pembahasan suatu hal kadang dilakukan dengan sangat rinci hingga ke urusan yang mungkin sangat jarang terjadi. Namun masalahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas, yaitu kebanyakan umat Islam sedikit mempelajari ajaran agamanya sehingga pembahasan ulama yang tertuang dalam sekian banyak kitab pun jadi tidak diperhatikan, padahal banyak pengetahuan di dalamnya yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis perlu menyebutkan satu kitab (yang bisa dikatakan sebagai kitab fikih) dengan judul Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam (yang mempunyai arti: “Mencapai Keinginan Melalui Dalil-Dalil Hukum”) yang disusun oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, seorang Qodhi (hakim) Islam di Mesir abad ke-9 H. Kitab ini cukup menarik karena merupakan kitab yang cukup ringkas yang secara fisik tidak terlalu tebal jika dipandang sebagai umumnya sebuah buku zaman sekarang. Namun dari segi isi, terdapat banyak keistimewaan dalam kitab ini walaupun kitab ini sebenarnya kitab yang ditulis sebagai hadiah dan persembahan Ibnu Hajar untuk putranya, sebagai materi untuk mendidik anaknya dengan ilmu Islam[1].

Metode yang digunakan oleh Ibnu Hajar dalam menyusun kitab ini ialah dengan metode tematis (maudhu’i) berdasarkan tema-tema fikih, mulai dari Bab Bersuci (Thaharah) sampai Bab Kompilasi (al-Jami’). Ia menyeleksi beberapa hadits dari kitab-kitab shahih, sunan, mu’jam, dan al-Jami yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih[2].

Terkait dengan Ekonomi Islam, kitab (yang secara singkat penulis sebut sebagai Bulughul Marom) ini menyebutkan hadits-hadits yang cukup banyak dalam bagian yang disebut sebagai Kitabul Buyu’ (Kitab Jual Beli). Bagian ini membahas banyak hal dalam perniagaan secara khusus maupun ekonomi secara umum. Menurut penulis, bahasan di sini merupakan bahasan aktual, artinya jika dipelajari secara mendalam, maka penerapannya masih berlaku hingga sekarang, walaupun tentu memerlukan bahasan teknis sebagaimana umumnya dalam menerapkan suatu hukum.

Sayangnya adalah kembali bahwa kebanyakan umat Islam sedikit mempelajari ajaran agamanya, sehingga kitab yang sebenarnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak masa Indonesia merdeka ini pun jarang dilirik. Padahal sekarang pun buku terjemahnya mudah diperoleh di toko-toko buku karena penerjemah maupun penerbitnya sudah cukup banyak, walaupun tentu saja untuk mempelajari tetap membutuhkan bimbingan guru yang kompeten, tidak bisa dibaca begitu saja sendiri. Jadi sudah beli dan punya, tentu tidak cukup. Harus berguru juga dengan benar.

AKTUALISASI PADA MASYARAKAT

Walaupun penulis memandang bahwa belajar itu merupakan awal dari semuanya yang artinya bahwa ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bukhariy[3], tetapi para cerdik pandai semestinya mencari cara supaya ajaran Islam itu bisa diterapkan di masyarakat tanpa diartikan bahwa semua umat Islam harus pintar dahulu mengenai ajaran agama, baru kemudian diamalkan. Dalam prakteknya, penulis berpendapat bahwa ulama lah yang harus mempelajari secara mendalam sembari mengajarkannya kepada umat. Namun mana-mana ajaran yang bisa diterapkan, ya ulama terapkan saja pada masyarakat sebagai aktualisasi ajaran Islam itu.

Bagaimana cara untuk aktualisasi ajaran Islam pada masyarakat itu? Hal yang penting diperhatikan dalam hal ini tentunya adalah bertahap. Selain itu haruslah bisa menjangkau sampai tataran teknis yang solutif karena orang awam tidak dengan mudah dapat mengakses teori dalam ajaran agama, tetapi seringkali membutuhkan jawaban langsung terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan tentu ini semua tetap harus di bawah bimbingan cerdik pandai yang kompeten.

Oleh karena itu, bahasan tentang ekonomi Islam perlu mencakup tataran teknis yang bahkan perlu menjangkau hingga tingkat masyarakat yang mikro, misalnya lingkup kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT. Kenapa ini diperlukan?

Penulis melihat bahwa sebenarnya Indonesia ini mempunyai banyak akademisi ekonomi Islam, bahkan ada jurusan/departemen di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi ekonomi Islam, tetapi dampaknya kurang terhadap masyarakat. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya praktek di masyarakat yang dianggap biasa, misalnya mudahnya umat Islam meminjam uang dari rentenir, kecurangan dalam timbangan/takaran, dan sebagainya.

Jangan-jangan bahasan ekonomi Islam selama ini terlalu teoritis dan makro sehingga hanya menjangkau tataran yang tinggi dan tidak bisa dimengerti oleh masyarakat. Begitu dihadapkan kepada masalah-masalah lapangan di lingkup kecil (katakanlah kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT), ternyata tidak aplikatif dan tidak bisa menjadi solusi. Bisa jadi ini karena para akademisi masih lebih banyak menyentuh tataran teori daripada teknis, atau bahkan yang parahnya adalah “memaksakan” untuk memasukkan teori ekonomi dari luar ke dalam ekonomi umat Islam sehingga umat malah tidak bisa melihat keluhuran ajaran Islam dalam ekonomi, tetapi malah menelan teori yang sejatinya bukan untuk diamalkan.

Oleh karena itu, penulis melihat bahwa ekonomi Islam bisa lebih aplikatif jika teorinya bisa ditindaklanjuti sampai teknis. Misalnya dalam lingkup kecil bisa diupayakan untuk menggalang potensi untuk meniadakan praktek pinjam ke rentenir dengan menyediakan pembiayaan yang sesuai syariah. Atau menerapkan kerjasama bisnis dengan penyertaan modal dengan pola bagi hasil yang sesuai syariah. Dan banyak lagi yang lain. Intinya adalah menerapkan syariah pada praktek-praktek ekonomi yang sehari-hari ada di masyarakat.

FORMALISASI PADA MASYARAKAT

Penulis melihat bahwa penerapan-penerapan ekonomi Islam di atas bisa diformalkan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat. Contoh nyatanya sebenarnya sudah banyak dan bahkan sudah ada yang tercakup dalam peraturan-peraturan dari pemerintah dengan berbagai macam bentuk dan tingkat peraturan tersebut. Makanya kita bisa dapati bagaimana misalnya perbankan syariah bisa dibentuk secara formal dan bahkan masuk dalam ruang lingkup kerja OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di samping adanya komite nasional khusus untuk ini, yaitu Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang memang punya tugas juga untuk mengembangkan perbankan syariah[4]. Artinya pengakuan itu sudah ada dan patut disyukuri. Namun itu semua tentunya mudah dilihat sebagai lembaga besar yang di lain sisi mungkin juga terlihat sebagai lembaga yang tidak mudah diakses oleh masyarakat kecil.

Oleh karena itu, penerapan ekonomi Islam secara formal pada ruang lingkup yang lebih kecil patut dipertimbangkan. Salah satu yang penulis pandang sebagai formalisasi ekonomi Islam yang mudah di sini adalah (termasuk tapi tidak terbatas pada) koperasi karena koperasi bisa bermula dari sekumpulan orang di masyarakat yang kemudian bisa ditingkatkan sesuai dengan peraturan pemerintah yang ada. Tentu koperasi yang dimaksud ini adalah koperasi syariah, yaitu bentuk koperasi yang segala kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, simpanan pokok, sesuai dengan pola bagi hasil “Syariah” dan investasi[5].

MOTIVASI

Di Masjid Baitul Mu’min, RW 15 Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, telah berdiri Koperasi Konsumen Syariah Baitul Mu’min (KSBM). KSBM berdiri pada awalnya didorong untuk menjadi solusi atas merajalelanya rentenir yang menawarkan pinjaman kepada masyarakat di lingkungan RW, padahal siapa saja yang sudah “terjebak” bisa mendapatkan “buntut panjang” masalah yang dia masuki.

Dalam prakteknya, KSBM dengan label syariah tentunya mempunyai tanggung jawab juga dalam menerapkan ekonomi Islam sesuai lingkup layanannya hingga mengedukasi anggota dan bahkan lingkungan sekitarnya untuk menyadari bahwa Islam memberikan solusi melalui aspek ekonomi yang mudah-mudahan dapat berdampak secara khusus bagi jamaah masjid dan masyarakat RW dan secara umum bagi lingkungan yang lebih luas.

Dengan semakin banyaknya layanan KSBM, lambat laun masyarakat RW, terutama jamaah masjid, dapat memperoleh layanan koperasi yang semakin bisa menjadi solusi masalah-masalah mereka, terutama dalam aspek keuangan dan bisnis (penghasilannya dan keluarga).

Motivasi di atas akan menjadi motivasi yang terus dipupukkembangkan bagi perjuangan para pengurus KSBM sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan luas. Mudah-mudahan motivasi ini juga bisa menjadi inspirasi dan memotivasi umat Islam yang lain untuk bisa menumbuhkembangkan ekonomi Islam sehingga umat bisa lebih tahu, tertarik, semakin banyak mempelajari, dan mengamalkan ajaran Islam yang penuh barokah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]    https://irtaqi.net/2016/09/01/introduksi-kitab-bulughul-maram-ii/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:01

[2]    https://risalahmuslim.id/apa-itu-bulughul-maram/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:46

[3]    https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:50

[4]    https://knks.go.id/berita/288/gandeng-kneks-kementerian-koperasi-dan-ukm-dorong-pengembangan-koperasi-syariah?category=1 diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:34

[5]    https://ajaib.co.id/apa-itu-koperasi-syariah-pelajari-di-sini-yuk/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:31

 

Selesai pada hari Sabtu, jam 14:50, 25 Jumadil Awwal 1442/9 Januari 2021

Ditulis untuk bulletin Al-Tafkir, masjid Baitul Mu’min, edisi Jumadil Akhir 1442

                                                                    Diterbitkan kembali di Blog pribadi ini sebagai dokumentasi 

Selasa, Januari 05, 2021

APAKAH SALAH JIKA TIDAK MEMAKAI MASKER KETIKA SHALAT DALAM KONDISI PANDEMI?

 

PENDAHULUAN

Tulisan ini disusun sehubungan dengan semakin masifnya lalu lintas pembicaraan terkait penggunaan masker yang dikatakan sebagai bagian dari protokol kesehatan (prokes) dalam kondisi pandemi Covid-19. Masifnya pembicaraan ini sebenarnya merupakan hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah jika menekankan penggunaan masker ini ke semua tempat dan waktu hingga dibawa kepada pengertian bahwa orang yang tidak menggunakan masker berarti tidak disiplin prokes dan terlebih lagi jika orang tersebut begitu saja dianggap salah.

PESAN IBU

Dikutip dari laman situs CNN[1], pada awal bulan Oktober 2020, Satgas Covid-19 mulai mengampanyekan “Pesan Ibu” untuk menggaungkan pesan:

1.       pakai masker
2.       jaga jarak, dan
3.       cuci tangan

untuk meredam penularan pandemi virus corona di Indonesia yang disampaikan dalam siaran pers pada tanggal 1 Oktober 2020. Bahkan demi menggaungkan kampanye ini, Satgas Covid-19 menggandeng band Padi Reborn yang telah meluncurkan lagu pendek berjudul “Ingat Pesan Ibu”.

Kampanye Pesan Ibu ini dilatarbelakangi pencarian cara yang universal untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia yang terdiri atas bermacam latar belakang budaya hingga tingkat pendidikan. Namun ada satu hal yang menyatukan beragam latar belakang itu, yakni semua warga Indonesia pasti dilahirkan dari ibu.

HADITS TENTANG MENUTUP MULUT DALAM SHALAT

Sejatinya terdapat hadits Nabi Muhammad tentang larangan menutup mulut dalam shalat. Dikutip dari laman situs almanhaj.or.id[2], dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

 أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat.”

Keterangan: Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 376), pada kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat kedua saja.

Pada prinsipnya, menutup mulut dalam shalat merupakan perbuatan makruh yang dalam hal ini perlu dimengerti dahulu bahwa kata “makruh” mestinya diartikan sebagai “yang dibenci”, bukan dalam pengertian orang awam: “Kalau ditinggalkan dapat pahala, tapi kalau dilakukan tidak berdosa”. Bahkan dalam hal ini juga, menutup hidung dalam shalat juga makruh, sebagaimana dikutip dari laman situs alislamu.com[3].

Penulis menyakini bahwa pembahasan hadits ini sangat jarang dilakukan sehingga banyak muslim belum pernah mendapatkan keterangan tentang hadits ini. Hal ini wajar karena banyak muslim sedikit mempelajari bahasan-bahasan yang merupakan pokok ajaran Islam, apalagi bahasan-bahasan seperti ini.

Ditambah lagi hadits ini sedikit banyak bertentangan dengan “arus utama” pembicaraan pada saat ini, yaitu “Pesan Ibu” sebagaimana disebutkan di atas, sehingga kalaupun dibahas, akan sangat mudah dibawa kepada pengecualian untuk tidak diamalkan. Ini bisa dilihat dari pembicaraan yang timbul, termasuk tanya-jawab, dalam berbagai forum termasuk media massa maupun media sosial, terutama setelah dimulainya masa pandemi Covid-19 ini.

BERAGAMA: LOGIKA ATAU YAKIN TERHADAP KEBAIKAN

Dalam kitab Riyadhush-Shalihin, terdapat satu bab dengan judul Yakin dan Tawakkal yang berisi ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang memberikan pengertian tentang harusnya kita bersandar kepada Allah SWT. Yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu maksud itu hanyalah Allah SWT sendiri. Bahkan dalam kondisi yang secara lahiriah tidak memungkinkan secara logika pun, kita diberi tuntunan  untuk berserah diri kepada Allah SWT sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam api seperti yang tercantum dalam hadits pada Bab Yakin dan Tawakkal dari kitab Riyadhush-Shalihin tersebut.

Pada dasarnya manusia diberi akal yang membedakannya dengan makhluk lain. Namun ternyata logika tersebut tidak bisa mencakup semua hal atau pasti mempunyai keterbatasan. Sebagai buktinya adalah kejadian yang menimpa Nabi Ibrahim AS di atas yang pada dasarnya manusia memahami bahwa api itu panas, tetapi penyandaran beliau kepada Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan Allah SWT di atas segalanya sehingga api pun bisa dingin sebagaimana diperintah oleh-Nya.

Walaupun akal bisa kita pergunakan untuk berlogika demi menguatkan iman kita kepada Allah SWT, tapi logika semata tidaklah bisa menjadi dasar dalam beragama Islam. Logika tidaklah bisa dikedepankan untuk beragama Islam, tetapi mengikuti dalil Al-Quran dan haditslah yang seharusnya dikedepankan dalam beragama sebagaimana kata salah seorang shahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Ali RA tentang mengusap khuf. Dikutip dari laman situs muslim.or.id[4], beliau mengatakan:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).”

Keterangan: HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini.

Penulis meyakini bahwa sunnah Nabi Muhammad SAW yang ditunjukkan oleh dalil shahih pasti benar dan menghasilkan banyak kebaikan, walaupun kebaikan itu tidak diterangkan oleh beliau, dan juga walaupun sunnah tersebut terlihat “menyimpang” dari logika. Namun sudah semestinya prinsip untuk memegang sunnah Nabi menjadi prinsip kita sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, yaitu surat Al-Hasyr ayat 7[5]:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ -

“…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Terlihat bahwa ayat di atas juga menyebutkan tentang ketakwaan dan hukuman Allah SWT yang berarti bahwa prinsip memegang sunnah Nabi itu terkait dengan ketakwaan dan bahkan ada ancaman buat yang menyimpang dari ketakwaan itu.

Sekali lagi, penulis menyakini bahwa melaksanakan sunnah Nabi secara teguh akan menghasilkan banyak kebaikan, yang bahkan lebih banyak daripada sekedar tidak terkena Covid-19. Artinya jika kita menjaga sunnah ini walaupun terlihat menyimpang dari logika, katakanlah sebagai contoh adalah tidak menutup mulut ketika shalat, kita akan mendapatkan banyak kebaikan. Tidak hanya bagi kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain, terutama yang ada di sekitar kita.

Pertanyaannya kemudian yang mungkin muncul adalah: “Apakah mungkin dengan tidak menutup mulut ketika shalat karena menjaga sunnah, kita dan orang-orang yang di sekitar kita ketika shalat bisa tidak kena Covid-19?”  Jawabannya ya “Bisa saja”. Karena apa? Karena kita tidak tahu benar yang mana saja kebaikan yang Allah sediakan bagi kita karena menjaga sunnah Nabi. Bisa jadi itu mencakup keselamatan kita terhadap Covid-19. Tidak mungkin kebaikan itu kita katakan berlaku, kecuali pada saat pandemi. Pada saat pandemi ada, kita katakan kebaikan itu tidak ada lagi.

Tidak masuk logika, tidak berarti itu tidak benar. Sekali lagi karena beragama tidak bersandarkan pada logika semata. Bahkan bukti nyata bisa diperlihatkan dari amal agama yang bertentangan dengan logika, tetapi sangat mudah dipahami bagi yang biasa mengamalkan dan meyakini kebenaran amal tersebut. Sebagai contoh adalah sedekah yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagaimana dikutip dari laman situs rumaysho.com[6] sebagai berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”

Keterangan: HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah

Pada dasarnya, sedekah itu secara nyata mengeluarkan harta, tapi disebut Nabi tidak mengurangi harta. Tentu ini bertentangan dengan logika. Namun kenyataannya, orang yang bersedekah memang tidak berkurang hartanya, bahkan bisa jadi dia mendapatkan berlipat kebaikan dari sedekah yang dia lakukan. Dan sekali lagi tentunya ini mudah dipahami oleh orang yang biasa mengamalkan dan meyakini kebenaran amal sedekah ini.

PANDUAN COVID-19 DAN KONDISI SHALAT BERJAMAAH

Dalam Webinar Kupas Cara Cerdas Hadapi COVID-19 Tanpa Khawatir di Tahun 2021 yang diselenggarakan Gugus Tugas COVID-19 RW 15 Jatiendah pada 1 Januari 2021, dr. Mutia Nurhayati (Kepala Puskesmas Cilengkrang) menyebutkan bahwa berpapasan saja, misalnya lewat naik motor bertemu di jalan sambil mengucapkan salam, dadah-dadahan, bukan termasuk kontak erat/dekat dengan orang yang positif kena Covid-19 sehingga kita bisa terkena juga. Tapi kontak erat yang dimaksud adalah bertemu dengan orang yang positif tersebut dalam satu waktu tanpa perlindungan kemudian berkomunikasi selama minimal 15 menit dengan jarak kurang dari 1 meter. Kalau bertemu di luar yang ada sinar matahari, maka virus pada droplet akan mati (Lihat https://youtu.be/hmEqb2YOFCg pada 1:11:58 hingga 1:12:01). Dari sini penulis menyimpulkan kontak erat itu adalah jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut:

1.       Tanpa perlindungan
2.       Berkomunikasi (penulis mengartikannya dengan bercakap-cakap)
3.       Durasi komunikasi minimal 15 menit
4.       Komunikasi dilakukan dengan jarak kurang dari 1 meter

Penulis tidak bisa menyimpulkan bahwa jika salah satu saja terpenuhi maka sudah dianggap kontak erat. Tapi penulis lebih condong menyimpulkan bahwa semua kondisi di atas harus dipenuhi sehingga bisa disebut kontak erat yang dapat menularkan Covid-19.

Bagaimana kalau kita membandingkan kondisi shalat berjamaah di masjid dengan definisi kontak erat di atas?

Jika kita melihat kondisi shalat berjamaah di masjid, maka kalaupun shalat dilakukan tanpa masker dan barisan/shaf shalat dirapatkan, maka tetap saja ada yang tidak dipenuhi, yaitu tidak ada percakapan dan durasinya tidak lebih dari 15 menit, karena umumnya shalat berjamaah tidak selama itu dan peserta shalat berjamaah (terutama makmum) bisa saja datang diam, shalat diam (kecuali mengucapkan “Aamiin”), setelah shalat diam (karena berdzikir dan berdoa), lalu pulang. Kecuali jika sebelum shalat mengobrol lama dan dekat dengan orang lain, atau sehabis shalat juga mengobrol lama dan dekat dengan orang lain.

Dari perbandingan di atas, penulis memandang bahwa shalat berjamaah di masjid tidaklah menjadi masalah, bahkan seandainya makmum tidak memakai masker dan merapatkan barisan. Anggaplah statistik pasien Covid-19 bisa sebagai bukti, maka kita bisa lihat bahwa orang shalat berjamaah dari dulu hingga kini dan nanti, tetap akan ada (bahkan ada pula yang tetap merapatkan barisan dan tanpa bermasker), tetapi tidak menjadi kluster yang masif, kalaulah tidak bisa dikatakan tidak ada. Kalau yang shalat berjamaah dengan cara begitu tetap ada, apalagi ternyata banyak, maka seharusnya pasien Covid-19 akan bertambah banyak dengan sebab ini, karena banyak orang yang tetap rindu ke masjid dan tetap akan mempertahankan shalat berjamaah di masjid, apapun keadaannya.

Sebenarnya kalau kita melihat pembicaraan yang muncul tentang solusi mengatasi Covid-19, ada yang mengatakan kita harus berjemur, berolahraga, dan mendekatkan kepada Allah SWT. Penulis berpikir: Bukankah ke masjid mengumpulkan itu semua? Jika kita ke masjid lima kali sehari, maka kita akan terpapar sinar matahari, berjalan (yang artinya juga berlahraga, walaupun dianggap ringan), dan jelas mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukankah ini sebenarnya solusi? Namun kenapa ke masjid malah jadi dipermasalahkan? Ke masjid jadi seolah-olah kontra-produktif atau anti-solusi karena bertentangan dengan “arus utama”.

Kalau boleh berpikiran “nakal”, maka penulis bisa bertanya tentang para pasien Covid-19 yang ada, dari manakah mereka tertular? Penulis yakin bahwa kebanyakan itu terjadi bukan karena shalat berjamaah di masjid, kalaulah tidak bisa dikatakan tidak ada yang tertular gara-gara shalat berjamaah di masjid.

Kalaulah jadi masalah, penulis memandang bahwa itu bisa terjadi sebelum dan sesudah shalat berjamaah, karena perilaku orangnya bisa masuk dalam definisi kontak erat di atas. Makanya bisa saja pesantren mempunyai penghuni positif Covid-19 karena interaksi yang masuk definisi ini bisa di mana saja, misalnya di barak tidur, toilet, kantin, dan sebagainya.

Oleh karena itu, penulis memandang jika seseorang tanpa bermasker berjalan di luar, katakanlah ke masjid, kemudian di jalan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun (kalaulah bercakap-cakap juga pasti sebentar, cuma basa-basi, dalam kondisi luar yang bisa jadi terpapar sinar matahari), maka itu tidak masalah (Begitu pula jika dia pulang dari masjid). Bahkan jika dia ikut shalat berjamaah dengan barisan yang rapat, juga tidak masalah.

Walaupun begitu, penulis sepakat bahwa jika definisi kontak erat di atas terpenuhi, maka protokol kesehatan Covid-19 perlu dijaga. Misalnya jika memasuki atau mungkin terjadi kerumunan di mana jarak antar orang menjadi sedemikian dekat, sementara kita perlu berinteraksi dengan orang di situ cukup lama, maka tentu pertimbangkan untuk bermasker. Bahkan kalau perlu membawa dan menggunakan perlindungan yang lain, misalnya hand sanitizer jika interaksi tersebut melibatkan sentuhan, terutama tangan, karena tangan kita pasti kita pergunakan untuk banyak keperluan.

TETAP HIDUP ATAU MATI SYAHID

Ada satu hal lagi yang jarang dibicarakan saat pandemi ini, yaitu bahasan mengenai mati terkena wabah. Dikutip dari laman situs pendis.kemenag.go.id, predikat “Mati Syahid” menunggu bagi pasien meninggal Covid-19[8]. Ini karena ada hadist Nabi tentang mati syahidnya orang yang terkena wabah sebagaimana dikutip dari laman situs almanhaj.or.id lain[9] sebagai berikut:

فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:   إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ: الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ شَهَادَةٌ، وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ، وَالْغَرَقُ شَهَادَةٌ، وَالْبَطْنُ شَهَادَةٌ، وَالنُّفَسَاءُ يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسُرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ  قَالَ: وَزَادَ فِيهَا أَبُو الْعَوَّامِ سَادِنُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ: وَالْحَرْقُ، وَالسَّيْلُ 

“Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya orang yang mati syahid kalau begitu sedikit dari umatku. Orang yang meninggal di jalan Allah Azza wa Jalla syahid, orang yang terkena tho’un (wabah) mati syahid, orang yang tenggelam mati syahid, orang yang meninggal karena sakit dalam perut syahid, orang yang meninggal karena nifas karena anaknya mengeluarkan ari-arinya menuju ke surga. Berkata, Abu Uwanah menambahi penunggu Baitul maqdis, orang terbakar dan terkena banjir (tenggelam).”

Ini artinya bahwa bagi umat Nabi Muhammad, orang yang terkena wabah bisa berharap mati syahid. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika ada shahabat yang sampai berdoa mati terkena wabah, misalnya Muadz bin Jabal RA, sebagaimana diceritakan dalam laman situs lombokpost.jawapos.com. Mati karena wabah memang “mengerikan” tapi bagi sebagian mukminin merupakan peluang untuk mendapatkan surga, walaupun tentu tidak harus menjadi pilihan semua orang, dan bahkan penulis sendiri juga tidak menganjurkan untuk meminta ujian kepada Allah SWT untuk terkena Covid-19.

Tentu bahasan untuk “memilih” mati syahid karena terkena Covid-19 bukan merupakan bahasan menarik sekarang ini. Tentu saja karena bahasan tentang protokol kesehatan lebih cenderung dengan tujuan “selamat dan tetap hidup”, bukannya “sakit dan mati syahid”. Namun penulis perlu mengingatkan hal ini karena bagaimana pun kematian itu sebenarnya dekat dan jika Allah SWT tentukan seseorang mati karena wabah, maka seharusnya lah itu dimaknai dengan benar sehingga kematiannya menjadi kebaikannya dan bahkan pelajaran bagi orang lain.

Sekedar catatan, sebenarnya sudah demikian banyak kuman yang bertebaran di muka bumi ini dimana di antaranya merupakan kuman patogen yang terbukti telah menimbulkan banyak kematian sepanjang waktu, yang di antaranya lagi bisa menimbulkan kematian yang cepat juga, misalnya sakit DBD, tipes, TBC, leptospirosis, dan lain-lain. Walaupun tentu tidak dengan maksud mengecilkan kesedihan dan kehilangan karena kematian akibat Covid-19, tetapi kenapa itu semua “kurang” diributkan? Mungkin karena sudah dianggap biasa. Sama juga kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang sudah dianggap biasa walaupun secara statistik jelas menimbulkan kematian yang banyak bahkan dalam selang waktu yang singkat sebagaimana dikutip dari laman situs nasional.kompas.com[11] dan oto.detik.com[12].

SIKAP ORANG BERIMAN

Dalam hadits Nabi disebutkan tentang sikap mukmin yang menakjubkan sebagaiman dikutip dari laman situs mqfmnetwork.com[13] berikut:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

 

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.”

Keterangan: Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu.

Sebagai mukmin, kita haruslah mempunyai sikap sabar dan syukur seperti disebut di atas. Bersyukur sebagaimana mestinya menurut Allah dan bersabar sebagaimana mestinya pula menurut Allah. Tentu maksud “menurut Allah” ini mestinya berdasarkan dalil lagi, bukan logika semata kita. Maka dengan itu, mana-mana yang Allah SWT tentukan terjadi pada kita akan menjadi kebaikan semata.

KESIMPULAN

Dari paparan di atas, penulis bisa memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.       Hadits Nabi Muhammad SAW tentang larangan menutup mulut ketika shalat merupakan salah satu hadits yang jarang dibahas, terutama pada masa pandemi Covid-19 ini.

2.       Ada urusan-urusan dalam agama ini yang tidak bisa begitu saja masuk akal kita tetapi tidak berarti itu tidak benar. Walaupun urusan-urusan tersebut “menyimpang” dari logika, tapi harus diyakini bahwa itu benar dan pasti menimbulkan banyak kebaikan, dan bisa jadi itulah solusi buat kita, walaupun Nabi SAW tidak menyebutkan rincian kebaikan itu apa saja.

3.       Protokol kesehatan Covid-19 diperlukan, tetapi dalam pelaksanaannya harus disikapi dengan semestinya. Dan tidak berarti orang yang terlihat “tidak mematuhi” prokes ini, mengabaikannya, melainkan bisa jadi dia menerapkannya dengan pertimbangan yang logis.

4.       Kematian karena Covid-19 semestinya dipandang secara proporsional menurut agama sehingga menjadi kebaikan walaupun tidak berarti bahwa kita meminta ujian untuk dimatikan karena ini.

5.       Mukmin harus bisa bersikap sabar dan syukur dalam kondisi pandemi ini, tetapi sikap tersebut haruslah menurut tuntunan dalil Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.

DAFTAR PUSTAKA

[1]        https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201002122137-25-553606/lawan-corona-satgas-covid-pakai-jurus-ingatpesanibu diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:20

[2]        https://almanhaj.or.id/589-dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat.html diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:23

[3]        https://www.alislamu.com/754/larangan-menutup-mulut-dengan-sesuatu-dalam-shalat/ diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:27

[4]        https://muslim.or.id/18714-seandainya-agama-dengan-logika.html diakses pada 5 Januari 2021 jam 15:23

[5]        https://quran.kemenag.go.id/sura/59 diakses pada 5 Januari 2021 jam 16:07

[6]        https://rumaysho.com/828-sedekah-tidaklah-mengurangi-harta.html diakses pada 5 Januari 2021 jam 16:29

[7]        https://youtu.be/hmEqb2YOFCg

[8]        http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detil&id=11608#.X_RBtPYzbIU diakses pada 5 Januari 2021 jam 17:40

[9]        https://almanhaj.or.id/15706-apakah-orang-yang-meninggal-dunia-karena-virus-corona-mati-syahid.html diakses pada 5 Januari 2021 jam 17:45

[10]     https://lombokpost.jawapos.com/opini/22/03/2020/korona-dan-kisah-abu-ubaidah-meminta-mati-sahid-dalam-memerangi-wabah/ diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:01

[11]     https://nasional.kompas.com/read/2020/05/27/06302191/mahfud-md-kematian-akibat-kecelakaan-lalu-lintas-9-kali-lebih-banyak-dari diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:45

[12]     https://oto.detik.com/berita/d-4925076/corona-berbahaya-tapi-tahukah-kamu-tiap-hari-70-orang-tewas-kecelakaan-jalan-di-ri diakses pada 5 Januair 2021 jam 18:46

[13]     http://www.mqfmnetwork.com/sungguh-menakjubkan-keadaan-seorang-mukmin/ diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:54

 

Selesai ditulis di Kota Bandung pada 5 Januari 2021 jam 19:36

Senin, April 27, 2020

HOAX

Pada hari itu, 22 Desember 2016, sejak pagi sudah muncul berita yang cukup besar terkait dengan pergeseran ke samping yang terdeteksi pada bagian atas pilar kedua jembatan Cisomang. Banyak orang membicarakan karena terkait perjalanan dari Bandung ke Jakarta dan sebaliknya, termasuk para tetangga dan kolega saya. Banyak berita tentang ini berseliweran dari yang serius, bercanda, sampai hoax.

Hal yang menjadi penting di sini tentunya adalah berita yang ada mestinya berita yang benar dan bermanfaat buat kita. Kalau isinya bercanda dan kelihatan atau diterangkan cuma bercanda, ya tidak mengapa, karena orang bisa mudah tahu. Kalau hoax? Nah, ini masalahnya. Kalau di lingkungan tempat tinggal saya, kebetulan ada beberapa PNS yang bekerja di Balai Penelitian Jalan dan Jembatan PU. Jadi mereka bisa menerangkan kondisi sebenarnya. Dan akhirnya yang lain terbawa untuk mengerti berita yang benar. 

Dikutip dari http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160630123953-317-142084/apa-sih-hoax/, hoax (baca: hoks) merupakan suatu hal yang bersifat menipu atau membohongi. Bagi kita muslim, maka prinsip sikap kita terhadap hoax semestinya mengambil pelajaran sebagaimana yang ada dalam Al-Quran pada ayat 6 surat Al-Hujurat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.

Kutipan di atas saya salin dari sumber: https://almanhaj.or.id/3445-mengapa-mesti-tabayyun.html

Dengan adanya media sosial, lalu lintas berita begitu mudah terjadi dan berseliweran dengan frekuensi dan kuantitas yang luar biasa. Sebagai media komunikasi, tentu ada banyak bagusnya. Tetapi sebagai media penyebaran berita, maka ini patut diwaspadai karena hoax jadi sangat mudah tersebar. Tanpa kebijaksanaan yang dipandu ayat Al-Quran, maka kita mudah terjerumus dalam kesalahan dalam menyebarkan berita bohong/palsu.

Secara universal (tidak hanya bagi kita muslim), validitas berita mesti kita kritisi. Kalau kita tidak tahu benar tentang kebenarannya, bersikaplah hati-hati. Periksa dulu validitasnya. Jangan mudah terbawa emosi dengan menyebarkan ke pribadi-pribadi teman kita atau grup-grup yang kita ikuti. Bersikaplah benar sehingga kita selamat.


Ditulis pertama kali di Bandung, 23 Desember 2016, jam 17:30 untuk materi kuliah via WA Grup Alumni Al-Ikhlash Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Diubah sedikit untuk diterbitkan dalam buletin Al-Tafkir pada edisi 01 Ramadhan 1441 H

Diubah lagi untuk diterbitkan dalam Blog pribadi ini

Jumat, Januari 20, 2017

MENAFSIRKAN TERJEMAH

Sekira tiga tahun yang lalu, ada pembicaraan hangat di grup WA alumni almamater saya. Topiknya adalah seputar tafsir Al-Quran. Pembicaraannya sangat sangat panjang, sekalipun tidak semua anggota grup adalah muslim. Tapi untungnya yang bukan muslim tidak banyak memberi komentar. Yang ramai ya silih balas komentar antar anggota yang muslim.

Yang menarik adalah, dalam pembicaraan panjang ini, ada anggota (dan justru dia ini yang jadi pelontar topiknya) yang berbicara panjang lebar tapi apa yang dia tulis tentang tafsir Al-Quran banyak yang berasal dari terjemah Al-Quran. Lebih khusus lagi bahkan kata-kata yang saya sebut terjemah Al-Quran itu dia dapat dari mesin penterjemah, semacam Google Translate. Nah di sinilah dia mendapat banyak tanggapan yang pada intinya tidak menyetujui cara dia berpikir dan bersikap.

Saudara-saudara...Kita punya kewajiban untuk belajar, memahami, dan mengamalkan Al-Quran. Dalam pandangan saya, sangatlah penting mempelajari Al-Quran dengan mengikuti jejak para shahabat Nabi Muhammad SAW dan generasi terdekat sesudahnya, yaitu mendatangi sumber ilmu secara langsung yaitu para ulama. Selain itu, sebagai pengayaan mengikuti tradisi keilmuan generasi tersebut, kita bisa mempelajari Al-Quran dari kitab-kitab tafsir Al-Quran yang telah ditulis oleh ulama terdahulu maupun ulama masa kemudian. Tentu dengan catatan bahwa pengajaran dari ulama atau penulisan kitab tafsir Al-Quran tersebut mengikuti metode penafsiran yang terbaik di mana ayat Al-Quran ditafsirkan dengan ayat Al-Quran, kemudian oleh hadits-hadits (shahih).

Nah, apa yang terjadi dalam perbincangan dalam grup WA alumni almamater saya perlu mendapat perhatian khusus di mana terjadi dasar berfikir seseorang tentang Al-Quran hanya semata-mata berasal dari terjemah Al-Quran. Bagi saya ini adalah sikap yang berbahaya karena terjemah Al-Quran mempunyai keterbatasan. Sebagai sebuah referensi cepat, tentu terjemah Al-Quran sangat membantu. Tetapi perlu dipahami bahwa terjemah Al-Quran tidak bisa dianggap sebagai tafsir lengkap Al-Quran. Kalau seseorang mau mempelajari Al-Quran dengan "lengkap", ya belajarlah dari para ulama, bacalah kitab-kitab tafsir Al-Quran sebanyak-banyaknya. 

Kalau cuma berdasarkan terjemah Al-Quran, jangan-jangan kita malah "menafsirkan" terjemah Al-Quran saja, bukan mendapatkan tafsir Al-Quran.


Ditulis di Bandung, 20 Januari 2017, jam 17:06 untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Diubah sedikit untuk diterbitkan dalam Blog pribadi ini

Jumat, Desember 09, 2016

BANYAK CARA DALAM SHALAT

Saya buka dengan cerita yang terjadi pada pekan lalu setelah mengajar beberapa bapak tetanga-tetangga saya di masjid tempat tinggal saya tentang shalat menggunakan "Diktat Shalat" yang ditulis salah seorang ustadz saya dulu. Diktat ini memang ringkas, tetapi dalam tiap satu bahasan mencakup beberapa hadits yang menjelaskan beberapa macam cara yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Salah seorang bapak berkomentar bahwa bahasan yang disampaikan bagus karena menjelaskan "banyak cara" (maksudnya tidak terpatok pada satu cara saja). Tapi kemudian beliau bertanya, lalu adanya madzhab-madzhab itu bagaimana ya?

Saya kemudian jelaskan secara singkat bahwa ulama zaman dahulu, termasuk yang disebut sebagai para imam madzhab dulu, punya "keterbatasan" dalam mendapatkan hadits, tidak sama dengan zaman kita yang bisa mengakses hadits dengan mudah, misalnya dari kitab-kitab yang tercetak banyak (Bahkan ada perangkat lunak yang sudah mencakup semua kitab hadits!). Sekalipun begitu, hadits yang mereka kuasai jelas banyak, sementara orang-orang awam tidak banyak tahu. Nah, pada saat orang-orang awam itu butuh jawaban atas permasalahan mereka, bertanyalah mereka kepada para imam tersebut. Fatwa yang dikeluarkan itu kemudian diikuti oleh orang banyak. Akhirnya semakin banyak yang mengikuti fatwa-fatwa mereka. Nah jadilah ini sebagai madzhab.

Sebenarnya dalam acara belajar itu sempat saya sampaikan bahwa dengan belajar banyak hadits, akan dapat kita lihat bahwa Nabi sendiri untuk beberapa perkara mengajarkan banyak cara (misalnya dalam hal qiraat Al-Quran). Dalam soal shalat pun, ternyata dalam hal gerakan atau bacaan, ada cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan melihat fakta ini, kita mestinya tidak boleh begitu saja terpaku pada satu pemikiran. Ima m Ahmad bin Hanbal, sebagai murid Imam Asy-Syafi'i saja bisa berbeda pendapat (meskipun kedua-duanya sama-sama tawadhu' dan saling memuji). Dengan banyak belajar hadits (termasuk yang berbeda-beda), akhirnya kita kan tahu banyak hal, termasuk mudah memahami perbedaan pendapat. Tentu sebagai catatan dari saya: asal didasari oleh hadits yang shahih dan istinbath (cara pengambilan hukum) yang benar.

Mudah-mudahan pada sisa umur ini, kita semua masih dapat mempelajari hadits-hadits Nabi dengan lebih intensif lagi.

Aamiin.

Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Jumat, November 25, 2016

Belajar Itu Harus Sabar

Sekira dua pekan yang lalu, saat saya mengajar bahasa Arab kepada tetangga saya dan menjelaskan keterkaitan ilmu-ilmu agama secara sekilas, tetangga saya tersebut bertanya tentang bagaimana mempelajari ilmu-ilmu itu semua, apakah secara paralel, ataukah satu dahulu kemudian baru yang lain.

Saya kemudian menanggapi bahwa saya sendiri sebenarnya tidak suka menjawab pertanyaan seperti ini. Namun kemudian saya sampaikan bahwa bagi saya, belajar ilmu-ilmu agama itu prinsipnya kalau ada kesempatan belajar, ya ambil saja. Kenapa? Karena kesempatan belajar itu belum tentu ada lagi. Apalagi untuk ilmu-ilmu tertentu, katakanlah bahasa Arab dan tafsir Al-Quran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang banyak majlis ta'lim, tetapi kebanyakan majlis-majlis itu menyampaikan topik-topik yang tematik dan umum. Bukan berarti topik tematik tidak perlu dibahas, tetapi saya pandang perlu membahas secara runut dan menyeluruh, seperti tafsir Al-Quran itu (Siapa coba yang pernah belajar sampai khatam dari Al-Fatihah sampai An-Naas?), perlu sekali. Selain itu, kalau bahasannya umum, maka yang kita peroleh, dapat dikatakan baru "kulitnya" saja, sehingga perlu pendalaman. Dan ini tidak bisa tidak, ya harus belajar secara khusus, maksudnya belajar tafsir Al-Quran untuk semua ayatnya.

Oleh karena itu, ketika ada kesempatan belajar ilmu-ilmu "khusus" itu, ya raihlah kesempatan itu dan belajarlah sampai semaksimal mungkin. Kalau sudah terlewat, ya mungkin kesempatan itu susah datang lagi. Mungkin bisa saja kesempatan itu datang karena ilmu tersebut sudah dikenal banyak orang. Contoh: dahulu yang pernah belajar tahsin Al-Quran dengan saya di Al-Ikhlash, pasti bisa bilang bahwa pada saat itu belajar tahsin Al-Quran sangat jarang sekira tahun 90-an. Namun sekarang, sudah bisa ditemui di mana-mana. Jadi dahulu mungkin kesempatannya sedikit, dan sekarang jadi banyak.

Nah, ketika kita dapat kesempatan belajar, maka gunakan kesempatan itus sebaik mungkin. Maksimalkan kemampuan untuk "bisa".Tapi syaratnya harus sabar. Ingat pepatah: "Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi." Apalagi mengingat bertambahnya waktu, memungkinkan bertambahnya "penghalang". Ambil contoh: dulu masih kuliah (sebagai mahasiswa), kemudian lulus, menikah, punya anak dst. Bukan berarti tidak boleh lulus kuliah, apalagi tidak boleh menikah. Tapi tidak bisa  dipungkiri bahwa adanya hal-hal tersebut melahirkan "tantangan-tantangan" baru yang bisa menjadi "penghalang" tadi. Dulu ketika mahasiswa, misalnya bisa menghafal Al-Qur'an banyak, sampai bisa hafal berapa juz' begitu. Setelah manikah, apalagi punya anak, mulailah rontok hafalan Al-Qur'annya satu per satu. Kalau ditanya masih punya hafalan berapa banyak, dihitung-hitung tinggal seperberapanya dari yang dulu.

Oleh karena itu, semangat belajar haruslah dijaga. Berprinsip yang mudah: "Mumpung ada kesempatan". Daripada nanti menyesal karena dulu ada kesempatan, tetapi karena tidak dijalani dengan maksimal, akhirnya ilmu itu tidak bisa digenggam. Sampai pas suatu saat dibutuhkan, ternyata baru sadar bahwa yang diraih cuma sedikit, padahal kesempatan belajar lagi sudah tidak ada.

Mudah-mudahan kita masih bersemangat untuk banyak belajar. Mumpung masih ada waktu.


Ditulis untuk materi kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung.

Selasa, November 22, 2016

Jika kita Pemimpin Jangan Terburu-buru Salahkan Orang Lain

Tulisan di bawah ini adalah kutipan dari http://kangbens.blogspot.co.id/2013/10/jika-kita-pemimpin-jangan-terburu-buru.html diakses pada 17 Nov 11:35

Mudah-mudahan jadi motivasi bagi kita untuk jadi pemimpin yang baik.

Menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri, nah ini dia yang mungkin sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, rasanya kalau kita ada kesalahan dan diminta pertanggungjawaban, maka serta merta dan secepat kilat kita akan melakukan pembelaan diri termasuk diantaranya menyalahkan orang lain, team tidak bisa bekerja lah, team bekerja lambat lah, team sulit dikoordinasi dan beribu-ribu alasan yang kita ungkapkan ketika kita mengadapai dilema pada saat menghadapi sebuah masalah dalam pekerjaan dan mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sikap ini bukan lah sikap yang terpuji, apalagi kalau kita dalam posisi sebagai seorang pemimpin, seluruh alasan-alasan itu pada akhirnya justru mengarah kepada dirinya sendiri, contoh saja kalau kita katakan team tidak bisa bekerja, team tidak bekerja cepat, tim sulit diatur nah loh lalu yang salah siapa ? apakah team kita yang salah atau justru kita yang salah karena kita tidak bisa membimbing dan mengarahkan team, karena kita tidak bisa memotivasi team kita dan kita jelas-jelas mungkin tidak mampu mengkoordinir seluruh pekerjaan team kita.

Namun sayang biasanya hal itu tidak kita sadari karena kita buta dan digelapak oleh keinginan untuk membela diri kita malah sibuk mencari kesalahan orang dan mengkambinghitamkan orang lain, pada sebenarnya kita lah yang salah karena ketidak mampuan kita melakukan directing dalam team kita.

Tentunya kita rindu dengan para pemimpin yang dapat menjadi suri tauladan yang secara gentlemen mengakui kelemahan dirinya tanpa rasa sungkan dan ragu walaupun itu dihadapan para anak buahnya bahkan dihadapan para atasanya.

Bayangkan saja kalau kita dipimpin sama orang yang selalu menyalahkan orang lain, apakah kita bisa nyaman bekerja dalam team tersebut, tentunya tidak bukan, justri ini akan menjadi kontra produktif terhadap kinerja bawahan, lama-lama mungkin bisa jadi timbul rasa dendam bahkan mungkin merasa terdolimi.

Tapi bayangkan jika atasan kita memiliki sikap yang "ngemong" dia berani bertanggunjawab tehadap apa yang dihadapinya, dia tidak buru-buru menyalahkan bawahan sebelum dia mengoreksi dirinya sendiri, dia siap menanggung secara gentlemen kesalahan para anak buahnya sebagai rasa tanggunjawabnya, tentunya penerimaan dan penghormatan dari team yang dipimpinnya jauh akan melebihi dari yang kita bayangkan, disitulah sikap seorang pemimpin.