Rabu, Agustus 15, 2012

Gampang Makan, Susah Shaum..Susah Makan, Gampang Shaum

Ramadhan ini kami mencoba mengajak anak ke-3 kami untuk ikut shaum. Anak kami ini laki-laki, umur hampir 5 1/2 tahun, masih sekolah di TK. Sebenarnya kami sendiri tidak begitu serius mengajaknya ikut shaum, karena maklum bahwa dia masih cukup kecil, masih suka ngemil, belum sadar benar tentang kewajiban ibadah. Namun karena kami merasa perlu melakukan pengenalan dan tentu saja pembiasaan, kami ajak begitu saja diiringi optimisme yang rendah, karena terus terang kami tidak yakin anak kami ini bisa menjalani shaum secara penuh.

Hari-hari awal Ramadhan sepertinya tidak ada yang berubah buat anak kami ini: makannya tetap saja pagi, siang, sore. Artinya belum bisa ikut shaum. Yah..tidak apa-apa, namanya juga anak-anak. Namun selanjutnya ternyata berbeda!

Hari-hari kemudiannya, ternyata dia bisa menurut ketika "ditahan" untuk tidak makan dan minum. Tentu bukan hal yang mudah buat dia, apalagi melihat adiknya yang masih sekolah di Play Group, belum berumur 4 tahun, makan siang di depannya. Tidak jarang dia merayu-rayu ibunya untuk memberinya makan juga. Namun alhamdu lillaah, cukup dengan diminta sabar sampai maghrib, mau menurut juga. Akhirnya tentu hari-hari selanjutnya bisa dilalui dengan shaum sampai maghrib. Pasti tidak mudah baginya, apalagi melihat anak-anak tetangga yang umurnya tidak jauh dengannya (bahkan ada yang di atasnya) makan siang begitu saja.

Bagi kami orang tuanya, perjuangan anak kami ini sudah dimulai dari saat sahur. Sebelum Ramadhan, biasanya anak kami ini bangun shubuh sebagaimana umumnya untuk shalat shubuh. Ini sendiri sudah menjadi sesuatu yang berat, bukan? Dan sekarang, harus bangun sebelum shubuh, yang tentu saja lebih berat lagi. Dengan masih terkantuk-kantuk, makan sendiri sahurnya merupakan proses yang panjang, karena sering terhenti karena matanya terpejam. Yah..akhirnya tentu saja, harus disuapi ibunya, sambil terus menegakkan badannya dan membukakan matanya. Kalau tidak, proses makan berhenti, badannya condong, dan akhirnya gubrak!!..berbaring lagi.

Anak kami ini sebenarnya gampang makan, suka ngemil, apalagi kalau dapat makanan yang dia sukai, sekalipun badannya sendiri cukup kecil, kurus malah (Tapi karena makannya gampang, gerak dan aktivitasnya bagus, kami tidak khawatir). Bisa dibayangkan, ketika anak yang gampang makan, tiba-tiba akses ke makanan dihentikan (maksudnya dengan shaum), tentu ini masalah besar. Berbeda dengan anak yang memang biasanya susah makan, kalaupun tidak dikasih makan sama sekali pun (ekstremnya nih), tentu "tidak menjadi masalah" (Sebenarnya masalah juga, dari mana anak ini dapat nutrisi cukup kalau makannya seperti itu?).

Sekedar cerita saja, kebetulan ada anak tetangga yang seumuran dengan anak kami ini, bahkan satu sekolah, cuma beda kelas saja. Anak tetangga kami ini susah sekali makannya, bahkan dalam 1 sampai 2 hari bisa saja tidak kemasukan nasi, sekalipun minum susunya kuat sekali. Makanya bapaknya sendiri bisa bilang bahwa bagi anaknya ini, shaum atau tidak shaum sama saja, karena dasarnya susah makan.

Alhamdu lillaah, anak ke-3 kami ini bisa menjalani shaum sampai hari-hari terakhir Ramadhan dengan lancar. Godaan baginya tentu saja ada terus, apalagi pada hari-hari terakhir ini, waktunya bikin kue-kue lebaran (Kebetulan anak-anak kami sudah masuk libur lebaran. Untuk mengisi waktu, di samping membaca Al-Quran, mengaji di masjid dsb, anak-anak ingin membuat kue-kue lebaran. Ya sudah, akhirnya istri saya membeli bahan-bahannya untuk dibikin bersama-sama). Kegiatan membikin kue-kue ini tentu kegiatan yang menyenangkan, tapi sekaligus menggoda. Kenapa? Karena anak-anak membikin kue-kue kesukaan mereka, seperti Putri Salju dsb. Bagi anak-anak kami yang sudah besar, tentu saja sudah bukan masalah, tapi tidak bagi anak ke-3 kami ini. Lagi-lagi, dia merayu-rayu ibunya untuk mencicipi, sedikit saja. Tapi lagi-lagi, alhamdu lillaah dengan diminta sabar sampai maghrib, sudah cukup baginya sebagai penahan.

Menurut kami orang tuanya, anak ke-3 kami ini bukan tipe anak yang suka menuntut kalau punya mau, apalagi sampai tantrum segala. Mudah diberi pengertian, tidak suka protes kalau tidak mendapat apa yang dia maui. Pendeknya, gampang lah kalau berurusan dengan anak kami ini, termasuk urusan shaum ini.

Alhamdu lillaah...

Kamis, Agustus 09, 2012

Bongsornya Anakku

Tak terasa, anak pertama kami, perempuan, sudah menginjak usia 10 tahun. Pada saat tulisan ini dibuat, dia sudah masuk kelas V di sebuah madrasah ibtidaiyah swasta. Usia yang masih menunjukkan sangat mudanya dia sebenarnya, tapi tidak menunjukkan ukuran badannya. Kenapa?

Sudah beberapa tahun belakangan ini, saya selalu menemui kesulitan untuk mendapatkan sepatu sekolah pada tiap tahun ajaran baru. Dasarnya masih usia anak-anak, anak pertama saya ini ingin mendapatkan sepatu yang seperti teman-temannya punyai, katakanlah yang berwarna pink bergambar Barbie. Namun kenyataannya, selalu kami gagal mendapatkannya, sekalipun sudah mutar-muter, ngubek-ubek sekian banyak toko sepatu. Masalahnya sama: tidak ada sepatu dengan model begitu yang cukup untuknya. Semua sepatu dengan model begitu selalu tersedia dengan ukuran kecil, ukuran anak-anak. Akhirnya pada tahun ini,
dia mendapat sepatu berwarna ungu dengan ukuran yang sama dengan ukuran sepatu ibunya!!

Kata orang: anak-anak sekarang cepat gede ya. Bisa jadi. Bisa kita lihat sendiri, sekarang banyak anak-anak SD sudah terlihat sangat bongsor, bahkan tinggi badan mereka bisa melebihi tinggi badan guru-gurunya! Mungkin kalau mereka berfoto bersama guru, sang guru dari "generasi lama" akan tenggelam di tengah kumpulan murid-muridnya dari "generasi baru" karena kalah tinggi badan.

Kata orang: makanan anak-anak sekarang beda sama makanan orang-orang dulu. Bisa jadi. Inilah mungkin hasil dari makanan instan/segera siap saji dengan segala macam zat tambahan di dalamnya (sekalipun kami sudah berusaha supaya anak-anak kami tidak terbiasa jajan dan menghindari zat-zat tambahan dalam makanan, seperti MSG misalnya). Realitas di masyarakat menunjukkan kecenderungan munculnya kondisi-kondisi buruk akibat konsumsi berlebihan dari makanan seperti itu, seperti obesitas anak atau diabetes anak, yang di jaman orang tua dahulu dari generasi lama mungkin tidak kita dapati. Sebenarnya sih, yang kelihatan sangat bongsor dari anak-anak kami ya cuma anak pertama saja. Adik-adiknya cenderung punya badan
kecil-kecil. Orang bisa bilang: ini karena faktor genetika saja. Bisa jadi.

Yang jadi masalah besar akibat badan bongsor sebenarnya sih bukan urusan sepatunya. Atau lebih lanjut, bukan urusan baju yang tentu saja juga harus berukuran besar. Masalah besar sebenarnya adalah bagaimana menerapkan hukum syariat pada anak kecil yang bongsor ini. Kecil karena memang masih berusia sepuluh tahun, belum balighah, sehingga tentu saja dia belum mukallafah, yang sudah bisa menerima pembebanan syariat sehingga sudah ada hitungan pahala dan dosanya secara tegas. Tapi bongsor, yang tentu saja dalam pandangan orang lain akan terlihat sebagai anak "sudah gede".

Bagi orang tua yang paham syariat, kebingungan yang muncul, sebagai contoh, adalah karena anak kecil yang bongsor sepantasnya tidak berperilaku sebagai anak kecil lagi mengingat bentuk badan yang sudah cenderung seperti anak gede tadi, katakanlah dalam urusan berpakaian. Kalau anaknya laki-laki sih sepertinya tidak begitu masalah (mungkin...), tapi berbeda kalau anaknya perempuan. Ya tentu saja karena orang tua harus mengambil sikap: ini anak harus berpakaian sebagaimana perempuan dewasa, atau boleh seperti anak-anak kecil lainnya?

Bagi kami, tentu saja niat untuk mendidik anak dengan baik sesuai syariat adalah landasan bersikap yang benar. Sekalipun dari segi fiqih, anak kecil berpakaian seperti anak kecil lainnya mungkin tidak mengapa, kami sendiri tidak ingin bahwa "pembiaran" ini melenakan sehingga menjadi "keterlanjuran". Maksudnya adalah karena orang tua membiarkan anak perempuannya yang bongsor itu berpakaian tanpa menutup aurat dengan benar (karena masih dianggap seperti anak kecil), si anak akhirnya merasa nyaman berpakaian seperti itu, hingga ketika dia sudah mencapai usia balighah, dia masih saja berpakaian seperti itu. Makanya jangan heran, seandainya di luaran, di jalan-jalan, kita bisa temukan ibu-ibu yang berkerudung rapi didampingi anak-anak perempuannya yang berpakaian seksi.

Dulu, saya pernah mendengar penjelasan bahwa imam-imam berpendapat bahwa anak-anak perempuan yang masih kecil sudah seharusnya menutup kepala (berhijab) sebagai bagian dari pendidikan Islam dan adab/akhlaq yang baik. Memang bagi orang tua, ini butuh perjuangan karena perlu waktu untuk memberi pengertian kepada anak yang masih kecil. Namun paling tidak, pembiasaan haruslah dilakukan supaya menjadi perilaku dahulu bagi anak dan menanamkan sifat malu kepadanya agar selalu menutup aurat, sambil lambat laun seiring bertambah mengertinya dia tentang Al-Quran dan Al-hadits, dia seharusnya diberi pengertian tentang dalil-dalil dari Al-Quran dan Al-hadits yang bersangkutan.

Mendidik anak perempuan memang butuh perjuangan khusus. Makanya tidak heran bahwa ada keutamaan mendidik anak perempuan bagi orang tua yang sabar menghadapinya dan mencukupi kebutuhannya. Mudah-mudahan Allah memudahkan urusan kami mendidik anak-anak perempuan kami. Aamiin.

Jumat, Juli 13, 2012

Law of Attraction

Alhamdulillaah, setelah beberapa tahun vakum, akhirnya bisa juga melakukan posting ke blog ini lagi.

Dalam posting-posting awal saya, saya pernah sebut bahwa sampai anak ketiga lahir, saya belum punya rumah. Kondisi sekarang sudah berbeda: anak empat dan sudah punya rumah sendiri (meskipun dengan mencicil...). Alhamdulillaah sekali lagi.

Dalam posting-posting awal saya juga, saya pernah sebut bahwa dengan bertambahnya anak, kehidupan kami sekeluarga jadi "lebih baik" lagi. Sekalipun lagi-lagi harus dilalui dengan sesuatu yang cukup menyesakkan dada dahulu. Tapi saya dan istri saya selalu percaya bahwa Allah sudah mengurus rizki kami sehingga kami tidak perlu khawatir. Dan memang benar, Allah sudah mengatur rizki buat kami. Alhamdulillaah sekali lagi.

Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya dengan judul di atas?

Sebenarnya judul di atas tidak akan saya bahas secara terperinci. Saya memakai judul di atas karena terinspirasi oleh perbincangan dalam milis alumni almamater tempat saya kuliah dulu tentang "Law of Attraction". Mungkin kalau ada yang bertanya, Law of Attraction itu hukum apa sih? Secara singkat (dalam uraian yang bukan bahasan pelajaran Fisika), inti dari hukum ini adalah kekuatan pikiran dan semesta yang mendorong sesuatu yang kita pikirkan bisa menjadi kenyataan. Sebenarnya sih, dalam uraian orang-orang awal yang menyebut-nyebut hukum ini tidak melibatkan Allah di dalamnya. Namun kalau saya pakai cara pandang saya sebagai muslim, pendekatan yang bisa diterima adalah ketika kita menginginkan sesuatu maka secara tidak sadar kita akan mengarahkan diri kita ke arah sana dengan doa dan usaha, entah mempersiapkan dana, atau yang lainnya, dan dengan izin Allah maka apa yang kita inginkan bisa terwujud.

Alhamdulillaah sekali lagi, saya dikaruniai istri yang sangat mendorong dalam banyak kebaikan. Salah satunya dalam urusan mempunyai rumah sendiri. Apakah belum punya rumah sendiri adalah jelek? Ya tentu saja tidak. Tetapi motivasi untuk mempunyai rumah sendiri dengan tujuan agar lebih bisa leluasa menerapkan syariat dalam keluarga tentu baik, bukan? Motivasi inilah yang membuat istri saya mendorong-dorong saya untuk bisa punya rumah sendiri. Jujur saja, sebenarnya saya sendiri berpikir, duit dari mana untuk beli rumah? Dalam keluarga kami, hanya saya yang bekerja mencari penghasilan buat keluarga, sedangkan istri saya bekerja dengan tugas mulianya: mengurus rumah tangga.

Oh ya, pada awalnya kami membina rumah tangga, kami tinggal di rumah saudara yang sudah saya kontrak sebelum saya menikah, bahkan jauh sebelum saya melamar istri saya. Ketika kami tinggal di situlah, anak pertama kami lahir. Namun karena bapak mertua saya (bapak istri saya) meninggal, kami kemudian pindah ke rumah paviliun orang tua istri saya yang menempel ke rumahnya supaya ada laki-laki (saya) yang dekat dengan rumahnya. Ketika kami tinggal di situlah, lahir anak kedua kami. Namun waktu yang berjalan menunjukkan bahwa lingkungan sekitar (kota dengan pertumbuhan dan pergaulannya) tidak mendukung tumbuh kembang anak-anak kami sesuai syariat. Maka begitu kami tahu bahwa rumah salah satu kakak istri saya kosong (letaknya di pinggir kota) dan boleh kami tempati, kami segera pindah ke sana yang lebih sepi dan lebih tenang. Ketika kami tinggal di sinilah, anak ketiga kami lahir. Nah di sini pulalah pikiran untuk mempunyai rumah sendiri benar-benar muncul.

Sebenarnya rumah kakak istri saya ini cukup nyaman. Tetapi namanya rumah orang lain, tetap saja kami merasa tidak leluasa untuk "ngapa-ngapain" di situ. Lagipula, bagaimana seandainya kakak istri saya ini tiba-tiba membutuhkan rumah yang kami tempati? Terpaksa harus cari rumah lagi, bukan? Karena itulah, dorongan istri saya cukup membuat hati saya tergerak dan badan saya bergerak. Maksudnya cari-cari rumah. Benar-benar cari rumah, bukan untuk beli, karena belum ada uang untuk beli. Di waktu senggang, saya ke sana ke mari lihat-lihat rumah, dan juga tanah, di kampung-kampung atau komplek-komplek di pinggir kota. Bukan di tengah kota ya, karena kami sudah merasa sumpek kalau tinggal di tengah kota. Namun karena uang untuk beli belum ada juga, terus terang kami juga berpikir untuk hutang. Kalau kata istri saya mah, kadang-kadang dengan hutang kita bisa memaksakan diri untuk bisa punya sesuatu (Memang benar, asalkan kita bisa mengelola hutang dan pembayarannya dengan baik. Tapi itu masalah lain ya, tidak akan dibahas di sini). Pada saat itu, terus terang doa saya kepada Allah untuk bisa memiliki rumah sendiri semakin gencar terpanjatkan (Dari dulu sudah berdoa begini, tetapi intensitasnya yang kurang) hingga akhirnya saat "itu" datang...

Awal tahun 2008, pada saat istri saya mengandung calon anak keempat, rizki dari Allah yang tak disangka-sangka datang dari keluarga saya sendiri (Terima kasih kepada ibu dan kakak saya). Relatif kecil sehingga tidak cukup untuk membeli rumah yang mencukupi kebutuhan kami, tetapi relatif besar untuk menjadi uang muka pembelian rumah tipe 36 di salah satu komplek perumahan di Kabupaten Bandung. Kekurangan uangnya dari mana lagi? Ya terpaksa meminta pembiayaan KPR dari salah satu bank syariah (Mengapa bank syariah? Karena kami ingin berhutang dengan "selamat" dari segi syariat. Tapi itu masalah lain ya, tidak akan dibahas di sini). Setelah menyelesaikan urusan ini-itu dengan pihak pengembang dan bank, rumah kami mulai dibangun pertengahan tahun 2008. Setelah beberapa bulan dibangun dan jadi serta ditambah ini-itu buat keperluan keluarga, akhirnya rumah kami siap dihuni pada akhir tahun 2008.

Akhir tahun 2008, anak keempat kami lahir. Dua pekan setelah kelahiran anak kami ini (awal tahun 2009), kami pindah ke rumah kami sendiri. Kata istri saya mah, ini rizki dari Allah dengan adanya tambahan anak kami. Alhamdulillaah sekali lagi, bahkan alhamdulillaah tiada henti...