Jumat, September 30, 2016

Sepotong Tinjauan dalam Perniagaan Syar'iy

Dalam beberapa pekan ke belakang, saya membahas hadits-hadits tentang perniagaan menurut sunnah Nabi SAW dari kitab Bulughul Maram. Di sini saya tidak akan membahas hadits-hadits tersebut, tetapi saya akan singgung materi yang terkait ini dari Al-Quran, yaitu surat Al-Muthaffifiin ayat 1-6, sbb:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ        (٦)

Terjemah:

  1. Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang),
  2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
  3. dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.
  4. Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
  5. pada suatu hari yang besar,
  6. (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.

Dikutip dari: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-muthaffifin.html

Kalau kita ditanya, sebagai muslim, apakah pegangan hidup kita, maka kita akan mudah menjawab, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi kita. Betul, bukan?

Terus, apa hubungannya dengan ayat-ayat ini?

Menilik pada apa yang terjadi di sekitar kita, bahkan termasuk yang ada pada kita, maka sebenarnya pernyataan kita tentang Al-Quran dan Sunnah Nabi kita di atas, mungkin perlu dipertanyakan. Kenapa? Karena jawaban kita pada dasarnya perlu pembuktian, dalam hal ini adalah pembuktian dalam kehidupan nyata sebagai konsekuensi dari pernyataan kita. Artinya harus nyata adanya penerapan Al-Quran dan Sunnah Nabi kita dalam kehidupan nyata ini.

Namun kalau melihat diri kita sendiri, maka ada saja hal, perbuatan atau sifat kita yang ternyata menyimpang dari tuntunan Al-Quran maupun Sunnah Nabi kita. Salah satunya adalah perilaku haram dalam perdagangan sebagaimana yang diancamkan dalam ayat-ayat di atas. Disebut ancaman, karena adanya celaan dan dikaitkan dengan kondisi pada hari kiamat. Artinya perilaku ini termasuk perbuatan dosa yang berat, sekalipun tidak disebutkan adanya hukum had dalam hal ini.

Secara nyata, dalam perdagangan, bisa sebagai pembeli atau penjual, orang bisa melakukan kecurangan. Apa bentuknya? Ya sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas:

  • Sebagai pembeli, kalau ditimbang/ditakarkan, minta dipernuhi. Bahkan bisa jadi minta dilebihkan, tanpa ada keridhaan dari penjualnya.
  • Sebagai penjual, ketika menimbang/menakar, sengaja menguragi. Misalnya saja dengan merekayasa alat timbangan/takaran.

Perilaku di atas tentu sangat beresiko dunia dan akhirat, terutama dalam pengurangan timbangan/takaran. Di dunia, dalam hukum positif negara, hal ini termasuk perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana. Di akhirat pun jelas ada ancaman siksaan sebagaimana tersirat dalam ayat-ayat di atas.

Sebagai orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat, maka sudah semestinya kita menghindari praktek-praktek terlarang seperti ini. Ada ulama yang mengaitkan ini dengan dzikir seseorang kepada Allah. Kenapa? Karena seseorang yang ingat kepada Allah, pasti akan menjauhi perilaku seperti ini.

Berniaga yang bersih, pada dasarnya akan membawa keuntungan dunia dan akhirat. Kenapa? Karena dalam pandangan manusia, akan menimbulkan citra positif yang ujung-ujungnya akan membawa keuntungan juga. Dalam pandangan Allah, juga akan membawa kebahagiaan sampai akhirat. In syaa'allaah.

Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Jumat, September 16, 2016

Sepotong Aspek Qira'atul-Qur'an

Materi kali ini saya buka dengan tanya jawab antara saya dan murid saya yang mengajukan pertanyaan via email sekira 2 tahun yang lalu. Begini potongan pertanyaannya:

"v dah nanya maksud yg ummi itu,
jd kata beliau ini sebetulnya rasulullah itu bukan tidak bisa baca bukan tidak paham.
seperti di surat al.mukminun ayat 108, 107, 111

penulisan قا ل
ayat 108 ditulis قا ل
ayat 107 dan 111 ditulis قل

dari sini bisa jadi rasulullah itu dibimbing oleh Allah.."

Saya jawab:

"Kalau saya menilai pernyataan beliau tentang definisi ummiy dan penulisan Al-Quran, sepertinya pakai logika ya.

Coba merujuk kembali sejarah bagaimana wahyu itu ditulis, baik di zaman Nabi hidup maupun sesudahnya, termasuk saat penyusunan mushhaf di masa kekhalifahan Utsman. Dari situ terlihat bahwa keterlibatan Nabi bisa dikatakan dalam penyusunan urutan/penempatan ayat, tetapi tidak dalam penulisannya. Adapun penulisannya, semata-mata dari para shahabat penulis wahyu.

Mungkin jadi timbul pertanyaan, bagaimana kalau shahabat itu asal menulis atau salah menulis?

Saya jawab, tidak mungkin. Kenapa? Karena pada saat penulisan wahyu (maksudnya yang kita kenal sekarang ada pada mushhaf yang kita pegang), pasti ada saksinya. Bahkan pada saat pengumpulan tulisan wahyu dalam satu mushhaf di masa Abu Bakar, tidak akan diterima tulisan tersebut, kecuali ada 2 saksi yang menyaksikan bahwa tulisan tersebut dibuat di hadapan Nabi.

Adapun perbedaan tulisan dalam satu mushhaf, saya pandang ini konsekuensi dari penulisan wahyu yang harus bisa dibaca dengan qira'ah sab'ah (tujuh qiraah). Para shahabat penulis wahyu di masa kekhalifahan Utsman berusaha menulis dengan tulisan yang bisa tetap menjaga qiraah-qiraah tersebut. Bahkan konsekuensinya, jumlah mushhaf resmi sebenarnya lebih dari satu, semata-mata untuk menjaga qiraah-qiraah tersebut.

Saya tidak tahu apakah Akang yang menerangkan tulisan Al-Quran itu belajar qira'ah sab'ah atau tidak. Kebetulan saya pernah belajar, jadi saya tahu benar bahwa lafazh  ?? itu bisa dibaca dengan cara berbeda, misalnya; "qoola" dan "qul", menurut qiraah yang berbeda. Bahkan saya punya satu mushhaf yang isinya mencakup cara bacanya dengan tujuh qiraah yang berbeda."

Ada beberapa hal yang patut jadi perhatian:

  1. Kita perlu mengerti tentang sejarah Islam. Sebenarnya kalau kita belajar hadits, kita dengan sendirinya juga belajar sejarah, karena sejarah Islam ditulis berdasarkan hadits juga.
  2. Kita perlu mengerti bahwa Al-Quran diturunkan dengan beberapa qira'aat. Mushhaf yang ditulis resmi pada zaman kekhalifahan Utsman, dapat mengakomodir qira'ah-qira'ah yang berbeda. Tetapi yang selama ini kita pelajari, bahkan mushhaf yang selama ini kita pakai, dapat dikatakan berdasarkan qiraah Imam Hafs. 
  3. Mempelajari Al-Quran tidak cukup hanya berlandaskan bisa bahasa Arab saja, apalagi cuma didukung logika. Belajar Al-Quran harus komprehensif ditinjau dari banyak ilmu-ilmu Al-Quran.
Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlas, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Kamis, September 01, 2016

Fiqih, Bahasa Arab, dan Tahsin Al-Qur'an

Kodifikasi ilmu-ilmu agama Islam sudah berjalan sejak lama. Dr M Dhiauddin Rais dalam bukunya "Kajian Politik ISlam: TEORI POLITIK ISLAM" terbitan Gema Insani Press tahun 2001, menyebutkan bahwa periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam dimulai pada perode Abbasiah. Adapun munculnya gerakan kodifikasi fiqih sendiri dikatakan oleh Umi Nurvitasari Al- Rimbany dalam artikel blognya yang berjudul "Pengertian Fiqh dan Sejarah perkembangannya" (http://surgaditelapakibu.blogspot.co.id/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html) dikatakan terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Dihitung dari periode-periode ini ke masa sekarang, tentu selisih waktunya sudah sangat panjang.

Pada zaman Nabi SAW hidup, tentu kita tidak akan mendapati ilmu-ilmu Islam dalam kodifikasi dengan nama-nama semacam judul di atas. Beliau mengajari para shahabat begitu saja. Jadi kita tidak akan dapati hadits yang menyebutkan, misalnya, hari ini beliau khusus mengajarkan fiqih, kemudian besoknya adalah jadwal beliau mengajar bahasa Arab, kemudian besoknya lagi adalah jadwal mengajar tahsin Al-Quran, dst.

Namun Ulama pada masa kemudiannya, mengkodifikasi apa yang diajarkan beliau demi manfaat bagi ummat seterusnya, sebagai tujuan umumnya. Adapun tujuan khusus dari kodifikasi itu karena masing-masing bagian/ilmu tadi mempunyai tujuan masing-masing.

Sedangkan sebagai hukum secara keseluruhan, mengacu kepada posting Rio Erlangga Maharja dalam blog yang berjudul "Koodifikasi dan Unifikasi" (http://acceleneun.blogspot.co.id/2013/03/koodifikasi-dan-unifikasi.html), kodifikasi tersebut dapat memberikan kepastian, penyederhanaan, dan kesatuan hukum. Kepastian berarti ilmu itu tertulis dalam kitab. Sederhana berarti umat dapat memperoleh, memiliki, dan mempelajarinya. Kesatuan berarti dapat mencegah dari kesimpangsiuran terhadap pengertian hukum yang bersangkutan, berbagai kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaanya, dan keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum.

Berbicara mengenai keuntungan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam, dalam perjalanan sejarah penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu Islam, kodifikasi tersebut sangatlah bermanfaat bagi umat. Tujuan-tujuan yang disebutkan dalam paragraf di atas pada dasarnya tercapai sehingga banyak kemaslahatan umat yang dapat terjaga. Namun berbicara pula mengenai kerugiannya, tentu ada juga.

Berikut diberikan contoh-contoh sederhana:
- Seorang imam di Indonesia mempunyai bacaan Al-Quran yang sangat bagus, bahkan kebagusan bacaannya diakui oleh Imam Masjidil Haram. Tetapi kalau melihat caranya shalat, ternyata ada gerakan atau sikap shalat yang tidak tepat. Kesimpulan mudahnya: dia kurang paham fiqih shalat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan gerakan atau sikap shalat semestinya didapat dari belajar Fiqih.
- Seorang hafizh di Bandung mempunyai bacaan dan hafalan Al-Quran yang bagus, tetapi terdapat kesalahan-kesalahan dari cara memotong bacaan atau ayat Al-Quran yang dia baca. Kesimpulan mudahnya: dia tidak mengerti makna ayat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan makna ayat semestinya didapat dari belajar Tafsir Al-Quran, atau paling tidak Bahasa Arab.

Kejadian-kejadian di atas adalah fakta dan barangkali pula terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Atau malah kita sendiri yang termasuk dalam contoh-contoh seperti ini. Kalau ditanyakan, kenapa terjadi hal-hal seperti ini? Dalam pandangan saya, ini terjadi karena dengan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam di atas, orang-orang sekarang kemudian "memilih" untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dia mau, bukan ilmu-ilmu yang dia butuhkan. Bukan berarti kodifikasi ilmu itu salah, tetapi dapat membuat orang hanya memilih sebagiannya dan merasa cukup dengan itu. Jadi masalah sebenarnya sih adalah "merasa cukup dengan itu". Juga bukan berarti mempelajari ilmu yang dimaui itu salah, karena yang dia mau bisa jadi memang dia butuhkan, tetapi masalahnya yang dia butuhkan sebenarnya lebih dari yang dia mau.

Sebagai tambahan, kalau ada pertanyaan tentang belajar ilmu-ilmu Islam: "Jadi saya mesti belajar apa?". Jawabannya: "Ya belajar semua". Kalau direspon: "Wah, saya tidak sanggup". Jawabannya: "Ya semampunya". Dengan demikian, semestinya seseorang berusaha mempelajari semua ilmu, tetapi dalam prakteknya karena ada hal-hal yang mungkin merintangi dalam usahanya ini, misalnya dana, kondisi kesehatan, dan adanya kewajiban lain yang mesti dikerjakan dahulu, maka dia bisa melakukan usaha tersebut semampunya.

Judul di atas pada dasarnya hanyalah contoh, tetapi saya kemukakan dengan mempertimbangkan bahwa ilmu-ilmu di atas adalah cabang-cabang yang relatif paling mudah dicari gurunya, didapatkan kitabnya, dan dipelajari oleh kita. Cabang-cabang lain ada juga yang relatif mudah, sedangkan yang lain lagi relatif susah. Namun pengambilan judul di atas juga dimaksudkan supaya kita lebih berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini karena amal-amal yang kita lakukan sehari-hari bisa dikatakan terkait langsung dengan adanya "modal" dari fiqih, bahasa Arab, dan tahsin Al-Quran.

Ambillah contoh: kita melakukan shalat. Paling tidak untuk shalat yang benar, butuh gerakan/sikap dan bacaan yang benar. Sebagaimana telah disampaikan di atas, gerakan/sikap yang benar (ditambah dengan bacaan shalatnya) dapat kita peroleh dari belajar fiqih. Adapun bacaan yang benar (khususnya bacaan Al-Quran) dapat kita peroleh dari belajar tahsin Al-Quran. Tentunya bacaan yang benar akan mencakup pengertian kita terhadap makna ayat, dan ini dapat kita peroleh dari belajar bahasa Arab/tafsir Al-Quran.

Mumpung kita masih diberi waktu, tentunya kita seharusnya berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini. Tidak ada kata terlambat untuk ini. Tinggal upaya kita untuk mengalokasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk belajar. Mungkin dana juga.

Betul?

Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung