Rabu, November 20, 2013

Speaking Freely

Apa ya, terjemahan bahasa Indonesia yang pas untuk speaking freely? Berbicara dengan bebas? Yah, apa sajalah, yang penting saya dapat ungkapan untuk "berbicara dengan bebas, dengan pengungkapan yang berasal dari olah pikir sendiri, tanpa tekanan atau didikte oleh orang lain". Mungkin ada yang tidak setuju dengan pengertian saya. Ya tidak apa-apa. Barangkali ada ungkapan lain yang lebih tepat, silakan koreksi saya.

Saya ingat waktu anak pertama kami masih kecil, sebelum usianya setahun. Kebetulan pada waktu itu, neneknya (ibunya istri saya) dan bibi-bibinya (saudari-saudari istri saya) ikut mengasuhnya. Kalau mengasuh, ya tentu saja ikut mengajak/mengajari bicara kepada anak saya ini. Kebetulan anak saya ini juga mau segera mengikuti kata-kata yang diajarkan tiap kali dia diminta untuk mengucapkan kata-kata itu. Hasilnya? Anak saya ini jadi lebih cepat dapat berbicara dengan lancar pada usia segitu.

Tapi ternyata metode yang diterapkan untuk anak saya yang pertama itu, tidak cocok untuk anak saya yang kedua. Kenapa? Karena anak saya yang ini tidak segera mau mengikuti kata-kata yang diajarkan kepadanya. Bahkan boleh dikata, setiap kali dia diminta untuk mengucapkan kata-kata itu, dianya cenderung diam. Sampai umur menjelang dua tahun pun, bisa dikatakan dia sedikit sekali bicara.

Namun siapa sangka, sekalipun anak kedua saya ini sedikit bicara, ternyata ketika dia bicara, dia bisa mengungkapkan kata-kata dengan jelas dan pas sesuai maknanya, bahkan dengan kata-kata atau kalimat yang saya pikir belum masanya diucapkan anak seusianya. Contohnya begini: Pada suatu malam, ketika anak kedua kami ini belum genap berusia setahun, dia tidur sekasur bersama kakaknya (Memang waktu itu begitu: dia dan kakaknya tidur bersama pada kasur besar). Kebetulan guling atau bantalnya (saya lupa) terpakai oleh kakaknya. Tentu saja tidak sengaja, karena mereka dalam keadaan tidur. Tapi kemudian anak kedua kami ini terbangun dan melihat miliknya dipakai oleh kakaknya. Dia segera mengambil miliknya sambil berkata: "Enak aja!"

Saya dan istri sebagai orang tuanya yang kebetulan waktu itu belum tidur tentu saja terkejut. Bagaimana tidak? Anak kami yang belum genap setahun dan kelihatannya susah diajari bicara ternyata mengucapkan kata-kata dengan jelas dan pas! (Siapa juga yang mengajari dia mengucapkan kata-kata itu?) Ini tentu saja tidak dinyana. Anak kami yang kelihatannya "terlambat bicara" ternyata sebenarnya sudah bisa bicara dengan semestinya, walaupun tidak "seramai" anak-anak lain seusianya (paling tidak yang kami kenal/ketahui).

Selanjutnya kami sebagai orang tua sebenarnya bisa dikatakan tidak pernah menuntun (atau mendikte) anak pertama dan kedua kami ini untuk mengucapkan sebuah kata atau kalimat. Kami biarkan saja keduanya berkomunikasi langsung dengan orang lain meskipun ada kata atau kalimat yang tidak jelas (Namanya juga masih kecil). Kalau ada kata atau kalimat yang tidak jelas seperti ini, biasanya kami meminta untuk mengulang omongan mereka sampai kami mengerti apa yang mereka maksud. Memang sepertinya ini memberatkan mereka, tetapi menurut pengamatan kami, cara seperti ini membuat tutur kata mereka menjadi berkembang karena mereka mudah menyerap tutur kata yang luas, tidak terbatas tutur kata yang dicontohkan kedua orang tua mereka. Sekalipun tentu saja ada tutur kata yang membuat kami terkaget-kaget, seperti yang saya contohkan di atas itu.

Cara kami seperti di atas kami terapkan juga untuk anak ketiga dan keempat kami. Kebetulan kedua anak kami ini seperti anak kedua kami ketika kecil. Maksudnya tidak mudah didiktekan suatu kata atau kalimat untuk ditiru. Sampai umur menjelang dua tahun pun bisa dikatakan kosa kata yang keluar dari mulut mereka tidak sebanyak anak-anak seusia mereka. Ya paling tidak yang kami kenal/ketahui. Kebetulan ada saudara juga yang mempunyai anak-anak seusia anak ketiga dan keempat kami ini. Karena kebetulan waktu itu dia tinggal bersama ibunya dan dapat dikatakan banyak urusan rumah tangga yang tidak dia urusi, bisa dikatakan urusan sehari-harinya ya hanya mengurus anak-anaknya saja. Makanya kosa kata anak-anaknya itu bisa cukup banyak, sebagaimana yang diajarkan ibunya. Oh ya, kebetulan saudara kami ini cukup dominan dalam mendikte anak-anaknya dalam bertutur kata. Makanya tidak aneh kalau cara bertutur kata anak-anaknya, termasuk dalam merespon sesuatu, persis benar dengan yang diajarkan ibunya.

Namun siapa sangka, anak ketiga dan keempat kami ini setelah berumur dua tahun mempunyai perkembangan bahasa yang sangat pesat. Tutur kata yang keluar menjadi sangat banyak dan seperti anak kami yang kedua, banyak di antara tutur kata mereka yang membuat kami terkaget-kaget. Mungkin karena banyak "guru"-nya, cara mereka bertutur kata pun sangat beragam. Ada cara tutur kata kami yang mereka serap, tapi ada pula cara tutur kata dari "luar" yang sering membuat dahi kami berkerut, marah, atau malah tertawa-tawa. Dan jangan heran, mereka pun bisa berkomentar, atau mengajukan protes dengan "lancar". Yah, begitulah..speaking freely!

Selasa, November 19, 2013

Itu Cuma Wadahnya, Tergantung Kita Yang mengisinya

Tahun 2013 ini adalah waktunya bagi anak kami yang ketiga untuk masuk Sekolah Dasar. Namun atas dasar pertimbangan ini dan itu, akhirnya kami mendaftarkannya ke Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) tempat kakak-kakaknya bersekolah. Sebagaimana beberapa sekolah Islam yang lain, di MIS ini dilakukan tes kematangan kepada anak-anak yang didaftarkan untuk masuk. Dan pada awal tahun ini anak kami menjalani tes kematangan tersebut di MIS itu.

Karena kebetulan saya harus bekerja dan ibunya (maksud saya: istri saya) harus mengantar jemput adiknya (anak kami yang keempat) yang bersekolah juga di suatu PAUD yang jaraknya berjauhan dengan MIS itu, maka kami orang tuanya tidak bisa menungguinya selama menjalani tes. Kami titipkan saja dia kepada kakak-kakaknya. Maksudnya titip untuk dilihat-lihat selama tes dan kalau sudah selesai tes, ya ditemani.

Setelah menjemput anak kami yang keempat, istri saya langsung menjemput anak kami yang ketiga. ALhamdu lillaah anak kami ini bisa menjalani tes dengan lancar. Setelah selesai tes juga tidak ribut mencari-cari orang tuanya. Kata istri saya, anak kami ini setelah selesai tes, ya asyik saja lihat kakak-kakaknya bermain bersama teman-temannya. Bahkan ketika dia diajak pulang pun, masih sempat berkata "tunggu dulu". Mungkin masih merasa asyik melihat calon kakak-kakak angkatannya bermain-main di sekolah itu.

Beberapa bulan kemudian, ada undangan atau panggilan dari pihak sekolah (MIS di atas) kepada kami untuk melakukan konsultasi dengan psikolog yang melakukan tes kematangan pada anak kami. Karena istri saya tidak bisa hadir, akhirnya saya yang hadir sendirian untuk keperluan konsultasi ini. Dan singkat cerita, akhirnya saya datang pada hari dan jam yang ditentukan untuk konsultasi dengan sang psikolog.

Pada sesi konsultasi di atas, sang psikolog menerangkan terlebih dahulu istilah-istilah dan pengertian-pengertiannya dari skala yang dipakai untuk mengukur kematangan anak kami. Dan singkat cerita, pada kesempatan itu, sang psikolog menyampaikan bahwa anak kami mempunyai tingkat kemampuan yang di atas rata-rata, bahkan untuk beberapa hal, kemampuannya setingkat dengan anak yang usianya jauh di atasnya.

Saya pikir, "Ah masa sih?". Saya sendiri merasa bahwa anak saya itu biasa-biasa saja. Memang ada hal-hal yang sejujurnya saya bisa katakan istimewa atau tidak biasa pada anak saya itu, dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (paling tidak yang kami kenal/temui). Makanya saya kemudian menanyakan, bagaimana metode yang dipakai untuk pengukuran itu, demi untuk meyakinkan diri saya sendiri atas pernyataan sang psikolog. Sang psikolog kemudian membeberkan secara singkat metode-metode yang dipakai dalam pengukuran untuk menjawab pertanyaan saya di atas. Memang ada hal-hal yang tetap tidak bisa saya mengerti, tapi secara umum saya bisa terima penjelasannya.

Ada hal yang cukup membuat saya berpikir cukup dalam dari penjelasan sang psikolog, yaitu kemampuan-kemampuan anak kami yang di atas rata-rata anak seusianya menurut hasil tes: "Itu cuma wadahnya saja, tergantung kita yang mengisinya". Saya memahaminya seperti ini: Hasil tes cuma menunjukkan potensi-potensinya saja, tergantung orang tuanya untuk menumbuhkembangkannya setelah itu dalam proses pendidikan anaknya.

Saya jadi teringat hadits Nabi Muhammad SAW di mana beliau menyebutkan bahwa tiap anak itu dilahirkan atas fitrahnya. Kemudian orang tuanya yang akan mengislamkannya, atau membuatnya jadi yahudi, nasrani, atau majusi. Dalam hadits ini jelas sekali diindikasikan bahwa anak itu sudah diberi potensi untuk baik dan dipastikan bahwa orang tua sangat berperan dalam membentuk si anak tersebut.

Makanya saya kemudian berpikir bahwa bisa jadi pada anak yang dipandang orang tuanya biasa-biasa saja, terdapat potensi yang besar sekali. Tinggal orang tuanya apakah bisa melihat potensi tersebut ataukah tidak. Mungkin perlu bantuan orang lain dalam menggali potensi anak (Kenapa tidak?). Kemudian ya tinggal orang tuanya lagi yang harus bisa membentuk anak dengan segala potensinya itu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Semoga Allah SWT memudahkan jalan kami dalam mendidik anak-anak kami sehingga dapat menjadi orang-orang yang shalih-shalihah yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain/masyarakat.

Jumat, November 15, 2013

Sumur Resapan, Salah Satu Solusi Masalah Perkotaan

Beberapa waktu yang lalu, salah satu saudara sepupu saya mengangkat topik tentang sumur resapan ke dalam milis yang kebetulan juga saya ikuti. Beberapa tanggapan kemudian muncul, kebanyakan dukungan, sekalipun ada juga tanggapan yang menunjukkan kekurangmengertian mengenai apa itu sumur resapan.

Saya sendiri sebenarnya juga kurang begitu mengerti. Pernah juga sih, saya melihat gambar-gambar yang menunjukkan rancangan atau susunan dari sumur resapan itu, tapi sangat sedikit penjelasannya. Kemudian baru-baru ini saya melihat dari salah satu artikel di situs Balitbang PU (http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20130218003736.pdf) yang menjelaskan hal-ihwal sumur resapan. Hanya sayang, artikel ini sudah tidak ditayangkan lagi pada situs tersebut. Tapi ada infopublik yang serupa pada situs PU (http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20130218003736.pdf). Dari penjelasan di situ, barulah "mozaik" pengetahuan saya tentang sumur resapan menjadi lebih lengkap.

Ternyata penelitian tentang sumur resapan ini sudah cukup lama. Penerapannya pun cukup sudah cukup lama dilakukan. Namun dalam pandangan saya, penyebarluasan penerapannya masih sangat kurang, padahal kegunaan sumur resapan ini cukup besar, terutama untuk daerah perkotaan.

Dari segi tujuan, sumur resapan ini dapat menggantikan peresap alami yang hilang atau berkurang akibat meluasnya lahan pembangunan yang menjadi kedap tertutup bangunan/jalan, dengan cara mendrainasekan sebagian aliran permukaan sebagai subtitusi peresap alami yang terjadi sebelum dilakukan pembangunan. Sumur resapan ini perlu dibangun pada daerah-daerah yang mengalami beberapa permasalahan-permasalahan: adanya tendensi bahwa lahan peresap alami makin menyempit, melimpahnya air permukaan di musim hujan, tetapi sumur-sumur penduduk mengalami kekeringan di musim kemarau. Penerapan sumur resapan ini bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan seperti: mengimbangi perubahan penggunaan lahan, mengurangi banjir dan genangan lokal, mengurangi beban dan mencegah kerusakan sarana drainase permukaan, dan menambah cadangan air tanah sebagai usaha konservasi air. Bagus, bukan?

Masih teringat dalam ingatan, bagaimana dahulu di tempat yang saya tinggali bersama keluarga sebelum kami tinggal di rumah kami sekarang, pada musim kemarau saya harus memesan air dalam jerigen atau mengambil air dari sumur di masjid, karena sumur-sumur warga, termasuk yang ada pada kami, mengering pada saat musim kemarau. Dan saya yakin, di kota-kota atau daerah-daerah lain terdapat masalah yang serupa. Oleh karena itu, pembangunan sumur resapan di kota atau daerah seperti ini patut dipertimbangkan untuk diterapkan sebagai salah satu solusi masalah perkotaan.

Namun seperti sudah saya sebut di atas, bagusnya hal-ihwal tentang sumur resapan ini kurang disadari oleh masyarakat, bahkan oleh aparat pemerintah. Ini terbukti dari tidak adanya penerapan kebijakan dari pemerintah yang membumi dan disebarluaskan di masyarakat. Memang benar, bahwa ada pemerintah daerah yang telah membuat peraturan daerah untuk menerapkan sumur resapan di masyarakat. Tetapi, bagaimana tindak lanjut dan ketegasan dari peraturan daerah ini? Bagaimana pula dengan pemerintah daerah yang lain?

Menurut saya, tidak bisa tidak, harus ada kebijakan pemerintah yang tegas untuk penerapan sumur resapan ini. Tetapi tentu saja peraturan ini haruslah membumi, artinya mudah dilaksanakan oleh masyarakat. Tentunya pula diperlukan dukungan pemerintah bagi masyarakat yang hendak menerapkan atau membangun sumur resapan, misalnya saja dukungan dengan bimbingan teknis, atau subsidi pembangunannya. Dengan begini, tentu masyarakat akan lebih mudah mengikuti peraturan tadi, karena tahu akan didukung oleh pemerintahnya.

Pembangunan sumur resapan pada bangunan yang baru mestinya lebih mudah. Pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dapat menyertakan keharusan membangun sumur resapan, baik itu yang dibangun oleh pribadi atau pengembang untuk perumahan. Dengan demikian, pemilik rumah pribadi tersebut atau sang pengembang harus sudah memasukkan biaya pembangunan sumur resapan itu ke dalam rencana anggaran biayanya. Tetapi tentu saja, sekali lagi ini tetap harus didukung pemerintah sebagaimana telah saya sebutkan di atas.

Lalu bagaimana dengan rumah yang sudah jadi tetapi belum ada sumur resapannya? Di pemukiman yang terdiri dari rumah-rumah yang berukuran kecil, pembangunan sumur resapan mungkin sekali dilakukan dengan cara patungan. Artinya satu sumur resapan untuk beberapa rumah. Cara ini juga bisa dilakukan untuk komplek industri atau komplek perkantoran. Tetapi sekali lagi, tetap saja ini harus mendapat dukungan pemerintah.

Ya memang, penerapan dari semua yang saya sebut di atas itu butuh waktu. Di komplek saya sendiri, sumur resapan belum ada, sekalipun di dekat rumah saya ada penampungan air yang cukup memberikan kontribusi bagi keberadaan air di lingkungan warga saya. Memang butuh sosialisasi dulu yang sering dan luas sebelum peraturan diterapkan. Dan ini lagi-lagi kembali pada adanya dukungan pemerintah atau tidak.

Nah, bagaimana dengan Anda?