Kamis, September 01, 2016

Fiqih, Bahasa Arab, dan Tahsin Al-Qur'an

Kodifikasi ilmu-ilmu agama Islam sudah berjalan sejak lama. Dr M Dhiauddin Rais dalam bukunya "Kajian Politik ISlam: TEORI POLITIK ISLAM" terbitan Gema Insani Press tahun 2001, menyebutkan bahwa periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam dimulai pada perode Abbasiah. Adapun munculnya gerakan kodifikasi fiqih sendiri dikatakan oleh Umi Nurvitasari Al- Rimbany dalam artikel blognya yang berjudul "Pengertian Fiqh dan Sejarah perkembangannya" (http://surgaditelapakibu.blogspot.co.id/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html) dikatakan terjadi pada masa pemerintahan Turki Usmani. Dihitung dari periode-periode ini ke masa sekarang, tentu selisih waktunya sudah sangat panjang.

Pada zaman Nabi SAW hidup, tentu kita tidak akan mendapati ilmu-ilmu Islam dalam kodifikasi dengan nama-nama semacam judul di atas. Beliau mengajari para shahabat begitu saja. Jadi kita tidak akan dapati hadits yang menyebutkan, misalnya, hari ini beliau khusus mengajarkan fiqih, kemudian besoknya adalah jadwal beliau mengajar bahasa Arab, kemudian besoknya lagi adalah jadwal mengajar tahsin Al-Quran, dst.

Namun Ulama pada masa kemudiannya, mengkodifikasi apa yang diajarkan beliau demi manfaat bagi ummat seterusnya, sebagai tujuan umumnya. Adapun tujuan khusus dari kodifikasi itu karena masing-masing bagian/ilmu tadi mempunyai tujuan masing-masing.

Sedangkan sebagai hukum secara keseluruhan, mengacu kepada posting Rio Erlangga Maharja dalam blog yang berjudul "Koodifikasi dan Unifikasi" (http://acceleneun.blogspot.co.id/2013/03/koodifikasi-dan-unifikasi.html), kodifikasi tersebut dapat memberikan kepastian, penyederhanaan, dan kesatuan hukum. Kepastian berarti ilmu itu tertulis dalam kitab. Sederhana berarti umat dapat memperoleh, memiliki, dan mempelajarinya. Kesatuan berarti dapat mencegah dari kesimpangsiuran terhadap pengertian hukum yang bersangkutan, berbagai kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaanya, dan keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum.

Berbicara mengenai keuntungan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam, dalam perjalanan sejarah penyebaran dan pengajaran ilmu-ilmu Islam, kodifikasi tersebut sangatlah bermanfaat bagi umat. Tujuan-tujuan yang disebutkan dalam paragraf di atas pada dasarnya tercapai sehingga banyak kemaslahatan umat yang dapat terjaga. Namun berbicara pula mengenai kerugiannya, tentu ada juga.

Berikut diberikan contoh-contoh sederhana:
- Seorang imam di Indonesia mempunyai bacaan Al-Quran yang sangat bagus, bahkan kebagusan bacaannya diakui oleh Imam Masjidil Haram. Tetapi kalau melihat caranya shalat, ternyata ada gerakan atau sikap shalat yang tidak tepat. Kesimpulan mudahnya: dia kurang paham fiqih shalat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan gerakan atau sikap shalat semestinya didapat dari belajar Fiqih.
- Seorang hafizh di Bandung mempunyai bacaan dan hafalan Al-Quran yang bagus, tetapi terdapat kesalahan-kesalahan dari cara memotong bacaan atau ayat Al-Quran yang dia baca. Kesimpulan mudahnya: dia tidak mengerti makna ayat. Dalam hal ini bacaan Al-Qurannya yang bagus diperoleh dari belajar Tahsin Al-Quran, sedangkan makna ayat semestinya didapat dari belajar Tafsir Al-Quran, atau paling tidak Bahasa Arab.

Kejadian-kejadian di atas adalah fakta dan barangkali pula terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Atau malah kita sendiri yang termasuk dalam contoh-contoh seperti ini. Kalau ditanyakan, kenapa terjadi hal-hal seperti ini? Dalam pandangan saya, ini terjadi karena dengan adanya kodifikasi ilmu-ilmu Islam di atas, orang-orang sekarang kemudian "memilih" untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dia mau, bukan ilmu-ilmu yang dia butuhkan. Bukan berarti kodifikasi ilmu itu salah, tetapi dapat membuat orang hanya memilih sebagiannya dan merasa cukup dengan itu. Jadi masalah sebenarnya sih adalah "merasa cukup dengan itu". Juga bukan berarti mempelajari ilmu yang dimaui itu salah, karena yang dia mau bisa jadi memang dia butuhkan, tetapi masalahnya yang dia butuhkan sebenarnya lebih dari yang dia mau.

Sebagai tambahan, kalau ada pertanyaan tentang belajar ilmu-ilmu Islam: "Jadi saya mesti belajar apa?". Jawabannya: "Ya belajar semua". Kalau direspon: "Wah, saya tidak sanggup". Jawabannya: "Ya semampunya". Dengan demikian, semestinya seseorang berusaha mempelajari semua ilmu, tetapi dalam prakteknya karena ada hal-hal yang mungkin merintangi dalam usahanya ini, misalnya dana, kondisi kesehatan, dan adanya kewajiban lain yang mesti dikerjakan dahulu, maka dia bisa melakukan usaha tersebut semampunya.

Judul di atas pada dasarnya hanyalah contoh, tetapi saya kemukakan dengan mempertimbangkan bahwa ilmu-ilmu di atas adalah cabang-cabang yang relatif paling mudah dicari gurunya, didapatkan kitabnya, dan dipelajari oleh kita. Cabang-cabang lain ada juga yang relatif mudah, sedangkan yang lain lagi relatif susah. Namun pengambilan judul di atas juga dimaksudkan supaya kita lebih berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini karena amal-amal yang kita lakukan sehari-hari bisa dikatakan terkait langsung dengan adanya "modal" dari fiqih, bahasa Arab, dan tahsin Al-Quran.

Ambillah contoh: kita melakukan shalat. Paling tidak untuk shalat yang benar, butuh gerakan/sikap dan bacaan yang benar. Sebagaimana telah disampaikan di atas, gerakan/sikap yang benar (ditambah dengan bacaan shalatnya) dapat kita peroleh dari belajar fiqih. Adapun bacaan yang benar (khususnya bacaan Al-Quran) dapat kita peroleh dari belajar tahsin Al-Quran. Tentunya bacaan yang benar akan mencakup pengertian kita terhadap makna ayat, dan ini dapat kita peroleh dari belajar bahasa Arab/tafsir Al-Quran.

Mumpung kita masih diberi waktu, tentunya kita seharusnya berupaya untuk "mendapatkan" ilmu-ilmu ini. Tidak ada kata terlambat untuk ini. Tinggal upaya kita untuk mengalokasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk belajar. Mungkin dana juga.

Betul?

Ditulis untuk materi Kuliah via WA grup Alumni Al-Ikhlash, Kubang Selatan, Coblong, Bandung

Tidak ada komentar: