Rabu, April 02, 2014

Anak Perempuanku Sudah ABG!

Kata orang, anak-anak pada usia belasan tahun itu adalah anak-anak yang sedang dalam masa pubertas. Masa di mana tubuh dan jiwa mereka berkembang menjadi remaja. Masa di mana mereka mencari identitas diri dan mulai menjadi diri sendiri. Masa di mana mereka mungkin mendapat kegalauan-kegalauan baru yang tidak mereka alami semasa kanak-kanak sebelumnya. Masa di mana sebagian sudah harus menanggung beban syariat sebagai mukallaf yang mana dosa dan pahala sudah dihitung buat mereka karena sudah mengalami haidh (buat perempuan) atau mimpi basah (buat laki-laki).

Masa remaja adalah masa di mana tubuh dan jiwa di dalamnya berkembang menuju puncak kinerja yang akan dapat menghasilkan hasil maksimal di tengah godaan lingkungan remaja yang cenderung bisa menyimpangkan dari syariat. Makanya tidak heran jika pemuda yang hatinya tergantung di masjid akan mendapat naungan Allah di padang mahsyar nanti pada hari akhir. Jadi masa remaja harus mendapat perhatian khusus dari orang tua yang tentu dalam hal ini adalah pengarah mereka dalam keluarga.

Bagi saya sebagai orang tua yang mempunyai anak yang berusia belasan tahun seperti itu, tentu masa pubertas anak merupakan "sesuatu" yang penting untuk dicermati dan disikapi dengan bijak. Kenapa? Karena jika saya sebagai orang tua tidak bisa mencermati dan menyikapi pubertas anak dengan baik, tentulah akan menjadi masalah besar, buat saya dan tentunya buat anak saya juga. Ini perlu penekanan buat saya sendiri karena saya tidak ingin penyikapan yang salah akan membuat anak saya berjalan menyimpang dari syariat.

Ngomong-ngomong, beberapa pekan yang lalu ketika semua anak-anak saya sudah tidur (berarti waktunya saya dan istri benar-benar bisa beberes rumah), sambil membereskan buku-buku anak-anak yang cukup berantakan, istri saya bergumam: "Anak pertama kita sudah ABG..." Lah, apa pula ini?

Ternyata di antara buku-buku anak-anak kami yang dibereskan istri saya itu terdapat buku catatan anak pertama kami, perempuan, sudah masuk usia belasan tahun. Karena asalnya tergeletak begitu saja, halaman-halamannya mudah terbuka dan isinya dapat terbaca oleh istri saya. Apa isinya? Yah, "kegalauan-kegalauan" yang mulai muncul pada anak-anak yang dalam masa pubertas itu deh.

Istilah ABG (Anak Baru Gede) sendiri saya kira cukup dipahami, mewakili kondisi anak yang mulai beranjak remaja, mulai kelihatan meninggi tubuhnya, secara fisik mulai berkembang ke arah tubuh dewasa. Yah, umumnya anak yang sedang dalam masa pubertas lah. Dan inilah yang terjadi sekarang: anak saya sudah menjadi ABG.

Dahulu (ketika anak perempuan pertama saya ini masih kecil tetapi sudah kelihatan tumbuh bongsor) saya pernah berpikir panjang mengenai bagaimana kondisinya ketika dia nanti menginjak remaja, mengingat tantangan masa sekarang yang semakin membutuhkan perhatian orang tua, di samping perkembangan fisik anak saya ini yang memang cenderung sangat cepat (Saya kira tidak akan butuh lama lagi untuk menandingi tinggi badan ibunya, termasuk untuk memiliki tubuh "dewasa"). Tantangan yang saya maksud tentu juga termasuk mendidik agar tahu batasan aurat yang betul, menjaga amalan wajib dengan konsisten, dan yang juga tak kalah penting adalah untuk tahu batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang benar karena kegalauan masa pubertas yang timbul juga saya kira diakibatkan oleh pergaulan antar lain jenis ini.

Pada akhirnya saya dan istri saya mengambil sikap untuk mengajak bicara anak kami ini supaya kami tahu apa yang ada dalam pikirannya dan supaya kami bisa menanamkan nilai-nilai syariat yang seharusnya dia pahami pada kondisinya sekarang ini. Tentu ini dengan harapan bahwa dia dapat mengambil sikap yang tepat sesuai syariat tanpa keterlibatan sikap "keras" kami kepadanya. Sikap keras? Ya, karena tidak jarang orang tua kemudian mengambil sikap frontal terhadap anak yang mengalami masa pubertas, tetapi hasilnya malah membuat anak memberontak, lari, dan tidak lagi bisa diakses oleh orang tuanya.

Pembicaraan dengan anak kami ini (waktu itu dilakukan oleh istri saya karena saya tidak bisa turut serta akibat harus pulang malam dari kantor) ternyata memunculkan cerita-cerita pergaulan di sekolahnya yang perlu jadi perhatian kami, mengingat cerita-cerita itu tidak semestinya jadi referensi bagi anak kami untuk berbuat yang sama. Apalagi kami dan juga guru-guru sekolahnya pasti juga menyampaikan tuntunan-tuntunan baik yang semestinya menjadi referensinya. Namun begitulah yang namanya tantangan masa pubertas: sekalipun orang tua dan guru sudah berusaha membentengi anak, tetap ada saja celah yang bisa menjadi sebab bagi mereka untuk mengenal hal-hal yang tidak semestinya. Celah ini bisa saja berasal dari lingkungan di luar rumah atau sekolah (bisa tetangga, teman sekitar rumah, saudara, atau orang lain lagi), tayangan televisi (atau media massa yang lain), film, dan lain-lain. Dan harus dimengerti juga bahwa anak-anak kita tidak perlu waktu lama untuk menyerap masukan dari celah-celah itu dan menirunya. Ya, saya kira kita harus paham bahwa anak-anak kita itu peniru yang terbaik (Contoh paling mudah: Siapakah yang mengajari mereka untuk berbahasa? Saya kira tidak ada, tetapi mereka meniru bahasa orang-orang dewasa di sekitarnya).

Kami sangat bersyukur karena anak kami dapat mengambil kesimpulan yang benar mengenai sikap yang semestinya dia ambil di tengah lingkungan yang memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak semestinya bagi remaja seusianya. Apalagi dia masih perlu berkonsentrasi pada sekolahnya. Dan saya kira dia sendiri sangat paham keinginannya untuk dapat bersekolah setinggi-tingginya mengingat semangat belajar dan prestasinya yang tidak bisa diabaikan.

Tentu saja, kami sebagai orang tua tidak pernah melepaskannya sendiri untuk berjuang melewati masa remaja tanpa bimbingan. Kami sendiri sangat prihatin memperhatikan kondisi remaja yang dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya untuk menjalani masa remajanya tanpa bimbingan, bahkan diabaikan. Bagi kami, tanggung jawab ini melekat dan menuntut upaya keras berketerusan serta akan ditanyakan di akhirat nanti. Apalagi mengingat masih ada anak-anak kami yang lebih kecil. Sekarang adalah masanya anak pertama kami. Sesudah itu akan menyusul anak kedua kami, anak ketiga kami, anak keempat kami, dan seterusnya (jika Allah izinkan). Tentu pula, tanpa pertolongan Allah, mustahil kami bisa menjalani ini semua, dan hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.

Ya, Allah, bantulah kami...

Kamis, Februari 27, 2014

Golden Light

Beberapa waktu yang lalu anak saya yang paling kecil pergi ke tempat outbound bersama teman-temannya satu sekolah. Saat itu memang merupakan jadwal acara keluar dari sekolahnya, sebuah Taman Kanak-kanak, berombongan bersama para guru dan orang tua. Dan biasanya, di tempat acara-acara seperti itu ada tukang foto keliling yang memfoto para peserta, kemudian secara cepat mencetak foto-foto yang mereka ambil sehingga bisa dipajang di sekitar pintu keluar tempat acara sebelum para peserta pulang. Tujuannya tentu saja supaya dibeli oleh para peserta, terutama yang tidak membawa kamera sendiri, termasuk istri saya yang mendampingi anak kami tadi.

Pada malam hari sepulang kantor, istri saya menunjukkan foto hasil jepretan tukang foto keliling yang dibelinya di tempat acara outbond tadi. Tentu saja yang dibeli adalah foto-foto anak kami, beberapa lembar. Harganya cukup mahal juga, ya tidak apa-apa. Cukuplah untuk mengganti kerepotan kalau harus mencetak foto hasil jepretan kamera kami sendiri.

Ada satu lembar foto anak kami yang diambil secara close-up, dengan pose kepala dimiringkan dan senyum lebar yang manis sekali. Saya tertegun melihatnya cukup lama. Dalam hati saya berkata, "Aih..cantik sekali anakku ini." Kalau mengingat-ingat kembali pose anak kami ini pada foto-fotonya yang lain, saya pikir, anak kami ini photogenic juga. Kenapa? Ya karena pose-posenya begitu memperlihatkan kecantikan dirinya.

Terus apa hubungannya dengan Golden Light?

Saya mendengar istilah Golden Light pertama kali pada suatu tayangan teleivisi dahulu ketika ada komentator yang menanggapi foto-foto hasil jepretan seseorang yang dipujinya sebagai Golden Light. Artinya jepretannya sangat pas pada waktu di mana semua seginya bagus: momennya, sudutnya, pencahayaannya, posenya, dan sebagainya. Tentu ini luar biasa karena sebenarnya susah juga menemukan saat yang tepat untuk mengambil gambar. Ketika orang memfoto suatu peristiwa, mungkin dari sekian banyak foto yang dia buat, hanya sedikit yang bagus. Ya, tidak semua menjadi Golden Light.

Lalu apa hubungannya dengan foto anak saya?

Bagi saya, tentu anak-anak perempuan saya cantik-cantik semuanya. Kalau anak laki-laki saya, tentu saja ganteng (Seperti bapaknya? Oh tidak, tentu lebih ganteng daripada bapaknya!). Dan ada kalanya foto-foto mereka diambil pada saat yang tepat sehingga kecantikan atau kegantengan mereka begitu terlihat. Dan kalau sudah begini, orang tua (saya dan istri saya) yang melihatnya menjadi begitu tersentuh. Apa efeknya? Tentu jadi menggugah rasa sayang kami menjadi semakin besar, di tengah-tengah kejengkelan kami yang kadang muncul karena tingkah polah mereka sehari-hari.

Bukan berarti kalau tidak melihat foto anak-anak kami, rasa sayang kami tidak besar ya. Bukan begitu. Namun ini semacam pengingat atau semacam charging pada baterai kasih sayang di mana ada penguatan yang cukup berarti dengan saat seperti itu: memandangi foto-foto cantik dan gantengnya anak-anak.

Saya buka kembali foto-foto anak-anak kami yang dulu-dulu. Hmm..kalau disebut ada golden light, ya ada juga. Banyak, malah. Dan kalau sudah begitu, jadi teringat momen-momen yang kami lalui bersama yang direkam dalam foto-foto itu. Jadi teringat juga keceriaan mereka, tingkah polah mereka yang lucu, dan lain-lain hal yang terekam dalam foto. Ujung-ujungnya tentu perasaan sayang yang membuncah.

Anak-anakku...I love you full!