Jumat, Desember 20, 2013

Anak Bapak Itu Unik...

Tahukah Anda, apakah itu ADD dan ADHD?

Awal bulan ini istri saya meminta dicarikan bahan buat disampaikan dalam arisan ibu-ibu RT. Bahan buat arisan? Ya, maksudnya bahan diskusi atau paparan sebagai masukan atau tambahan ilmu buat ibu-ibu. Bagus juga nih, pikir saya. Kenapa? Karena tidak jarang ada ibu-ibu berkumpul arisan itu juga berkumpul untuk urusan yang tidak benar, misalnya ngerumpi ngomongin orang lain.

Sebenarnya tugas menyampaikan paparan di atas diberikan kepada yang menang arisan. Yang menang arisan kali ini adalah istri saya dan dua ibu yang lain. Namun karena dua ibu yang lain ini mempunyai bayi-bayi yang meyibukkan mereka, ya sudah, akhirnya istri saya yang dapat tugasnya. Sebenarnya istri saya juga sibuk karena harus mengurus anak-anak saudara yang harus mengurus orang tuanya yang dioperasi di rumah sakit.

Di kantor pada saat rehat kerja, saya cari-cari bahan yang diminta istri lewat internet. Setelah cukup lama berselancar, akhirnya saya pilih bahan tentang anak dengan ADHD dan ADD. Sekedar informasi, ADHD merupakan singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Kalau dalam bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas. Kalau ADD, ya berarti gangguan pemusatan perhatian, tapi tanpa disertai hiperaktivitas. Informasi lebih lanjut dapat dicari lewat internet, sebagaimana yang saya lakukan.

Mengapa saya pilih bahan ADHD dan ADD pada anak?

Sebenarnya ketertarikan saya untuk mengambil bahan tentang ADHD dan ADD pada anak ini cukup terdorong oleh adanya pembicaraan saya dan wali kelas dari anak kedua saya ketika pembagian rapor pada mid semester ini. Tentu saja bahasannya mengenai hasil yang dicapai oleh anak kedua saya sampai mid semester itu.

Pada dasarnya sih, secara akademik anak saya ini tidak bermasalah. Hasil pencapaian akademiknya bagus, bahkan rerata nilainya pada semester ini pun tertinggi di kelasnya. Tapi bukan itu masalahnya. Kenapa? Karena bagi saya dan istri saya, sebenarnya pencapaian akademik ini bukanlah satu-satunya yang harus diperhatikan. Bagi kami, hal-hal yang termasuk sikap pribadi anak juga penting untuk diperhatikan.

Nah, justru sikap pribadi anak kami ini sekarang yang lebih patut untuk diperhatikan: kurang perhatian, suka melakukan hal-hal yang "mengagetkan" atau tak terduga, kurang bisa mengendalikan penempatan sikap (di mana, kapan, dengan siapa) sehingga dikhawatirkan bisa dianggap tidak sopan oleh orang yang kurang paham. Namun anak kami ini aktif, kreatif (apa saja bisa menjadi  "sesuatu" baginya), dan pemahaman akademiknya baik (Kurang perhatian saja hasilnya sudah sangat baik, apalagi jika bisa fokus. Tentu hasilnya akan maksimal).

Terus terang, saya dan istri saya kadang-kadang suka merasa gusar dengan sikap anak kami ini. Tentu saja bukan marah karena manganggap anak kami ini "nakal". Sama sekali bukan. Hanya saja penempatan sikap anak kami yang tidak tepat itu yang menimbulkan kegusaran tadi. Sebenarnya kami sendiri tidak menganggap anak kami bermasalah, bahkan wali kelas anak kami ini mengatakan: "Anak Bapak ini unik".

Sebenarnya "keunikan" ini menimbulkan konsekuensi tersendiri. Maksudnya, anak saya ini mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan anak-anak lain. Alhamdu lillaah bahwa saya dan istri saya sudah tahu tentang hal ini dan selama ini juga telah melakukan upaya-upaya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini. Tentu belum maksimal. Namun kami berharap bahwa upaya-upaya kami ini dapat memberikan hasil yang memadai bagi tumbuh kembangnya anak kami ini menjadi pribadi yang baik.

Kembali ke ADHD dan ADD pada anak di atas.

Menurut saya, jelas anak kedua saya ini tidak termasuk anak yang mempunyai ADHD atau ADD. Mungkin lebih tepatnya ke "Super aktif" atau "Aktif". Menurut saya ya. Buktinya ya itu, pencapaian akademiknya bagus. Tapi ya memang butuh penanganan khusus. Kebetulan dulu pernah ada teman, seorang fisioterapis, yang melakukan "penilaian" terhadap anak kami. Dari beliau inilah kami tahu beberapa hal yang mesti kami perhatikan buat anak kami ini.

Sebagaimana kata para ilmuwan sekarang, sebenarnya anak-anak yang memiliki ADHD atau ADD juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus yang patut diperhatikan oleh para orang tua. Secara umum, anak-anak seperti ini (tidak hanya yang memiliki ADHD atau ADD) termasuk ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus. Salah satu hal yang patut disyukuri di masa sekarang ini adalah banyaknya penelitian tentang ABK ini sehingga pemahaman kita lebih baik, di samping tentunya karena penyebaran informasi yang cukup luas, misalnya lewat internet, sehingga para orang tua mempunyai akses yang lebih mudah dan lebih baik daripada masa lalu.

Seringkali saya meras gusar dengan adanya kasus yang muncul di media massa tentang orang atau anak yang dipasung. Kenapa? Karena bisa jadi mereka sebenarnya adalah ABK tetapi karena orang tua, keluarga, atau lingkungannya tidak mengerti bagaimana menangani ABK, jadinya diambil jalan (pintas) yang mereka tahu. Ya mungkin karena kebanyakan mereka kurang terpelajar dan tinggal di daerah yang susah mengakses informasi. Padahal bisa jadi, dengan perlakuan yang benar, orang atau anak tersebut dapat menjadi orang "normal".

Kata istri saya, ABK ini sebenarnya normal, hanya saja mempunyai kebutuhan khusus. Kalau ditangani dengan benar, ya tentu saja dia dapat berperilaku dengan "normal", berbaur dengan orang lain, bahkan memberikan manfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. Tidak sedikit orang yang tadinya adalah ABK dapat mencapai kesuksesan hidup yang menakjubkan.

Tentu sebagai orang tua, kita tidak boleh buru-buru memberi vonis, misalnya "nakal" atau "bermasalah", kepada anak kita ketika kita mendapati perilaku mereka tidak seperti anak-anak yang lain. Mungkin malah kita yang bermasalah, karena tidak melakukan tindakan yang seharusnya pada anak kita yang sebenarnya ABK. Jadi yang ada bukan anak yang bermasalah, tetapi justru orang tua yang bermasalah.

Oleh karena itu, pahamilah anak-anak kita. Pahamilah kebutuhan-kebutuhan mereka. Tentu bukalah dahulu wawasan kita tentang kebutuhan-kebutuhan anak-anak kita. Barangkali terdapat potensi besar di balik kebutuhan-kebutuhan khusus mereka. Siapa tahu?

Rabu, Desember 11, 2013

Anak Kayak Gini, Kok Bisa Ya?

Pada suatu hari, salah satu stasiun TV swasta menayangkan suatu potongan wawancara dengan Kak Seto Mulyadi. Saya tidak ingat bahasan besar dari tayangan itu, tetapi yang saya ingat dari kata-kata Kak Seto itu adalah dialognya dengan seseorang yang dikritik oleh Kak Seto karena bersikap keras kepada anaknya. Kata Kak Seto, orang itu memberi tanggapan seperti ini: "Kak Seto, ini belum apa-apa. Dulu yang saya terima dari orang tua saya empat belas kali lebih keras daripada ini."

Empat belas kali? Bagaimana menghitungnya ya?

Sekedar cerita dulu: Pada mid semester kemarin, anak saya yang pertama dan kedua memberikan surat dari sekolah. Isinya tentang pembagian rapor, tapi kali ini disertai pembahasan hasil selama tri wulan ini dengan wali kelas selama 1/2 jam. Ya, masing-masing orang tua mendapat jadwal bertatap muka secara pribadi dengan wali kelas. Semacam konsultasi, begitu lah. Jadi kali ini tidak ada pembagian rapor di mana semua orang tua siswa berkumpul di satu ruangan kemudian dipanggil satu per satu ke depan ke meja guru untuk mengambil rapor anaknya.

Cerita saya kali ini tentang pertemuan dengan wali kelas anak saya yang pertama. Isi pertemuan pada awalnya membahas pencapaian akademik anak saya ini. Lumayan juga, rerata nilainya jika dibikin peringkat untuk satu kelasnya adalah nomor dua. Tapi terus terang, saya dan istri saya sebenarnya kurang begitu peduli tentang pencapaian akademik begituan. Bukan apa-apa ya, mungkin karena kami menganggap pencapaian akademik tadi hanya sebagian dari pencapaian anak kami, bukan satu-satunya yang harus diperhatikan. Ya, masih banyak lagi pencapaian anak kami yang harus kami perhatikan: sikap, kemandirian, kedewasaan, ...

Karena hal-hal selain pencapaian akademik bagi kami juga penting, makanya saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apa saja sih kekurangan anak saya ini? Dijawab oleh wali kelas anak kami ini bahwa anak kami ini kurang teliti dan kurang bisa menegur temannya yang berbuat tidak baik atau tidak semestinya. Hmm...ya, saya pikir anak kami ini memang perlu lebih teliti. Sekalipun bisa mengerjakan soal, kalau tidak teliti ya sama saja, tentu hasilnya akan jelek. Adapun kalau anak kami ini kurang bisa menegur temannya, ya mungkin saja dia masih merasa segan untuk menegur langsung temannya. Paling-paling yang dia bisa adalah menyampaikan ke wali kelasnya untuk ditindaklanjuti. Ya tidak apa-apa, mungkin masih dalam proses dalam nahy munkar.

Lebih lanjut, saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apakah anak saya ini bermasalah? Langsung saja wali kelas anak saya ini menjawab: "Oh, tidak, Pak. Justru saya bersyukur punya murid seperti anak Bapak ini yang tidak bermasalah". Iseng saja saya bertanya: "Apakah ada anak yang bermasalah?" Dijawab juga langsung oleh wali kelas anak saya ini: "Oh, banyak, Pak. Terutama yang laki-laki." Wah!

Lebih lanjut lagi, wali kelas anak saya ini menuturkan kelebihan-kelebihannya, misalnya mandiri dan hal-hal lain yang dimiliknya. Wah, saya sendiri cukup terkejut. Kok bisa ya? Padahal saya sendiri suka menegur anak saya ini yang kalau mengerjakan sesuatu di rumah masih belum menunjukkan kinerja yang sesuai standar saya.

Kinerja? Kok seperti bekerja di kantor saja ya? Terus apa hubungannya dengan kata-kata Kak Seto di atas?

Saya pikir, saya mungkin menggunakan standar "tinggi" buat anak saya. Padahal dengan usia seukuran anak saya ini, mungkin sebenarnya kinerjanya sudah cukup bagus, paling tidak di sekolahnya. Saya pikir lebih lanjut, ya barangkali karena saya memakai standar sebagaimana yang diterapkan orang tua saya dahulu kepada saya: bekerja harus sempurna menurut standar orang tua saya dan kalau tidak sesuai, ya harus terima "konsekuensi-konsekuensinya". Ini juga yang dipikir oleh istri saya tentang saya, yaitu bahwa sedikit banyak, "ajaran" orang tua ini kemudian menurun ke saya dan berpengaruh kepada saya dalam mengajari anak saya sendiri.

Bagus? Sebentar...

Kata-kata Kak Seto di atas sebenarnya menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa barangkali orang tua menerapkan sesuatu yang serupa dengan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu kepada anaknya. Memang bisa jadi lebih "ringan". Namun tetap saja terjadi kecenderungan yang sama di mana praktik yang dulu terjadi, berulang di kemudian hari. Alhamdu lillaah kalau praktik yang diulang adalah yang baik, tetapi bisa saja kan, yang berulang adalah kekerasan atau penyiksaan. Tidak mustahil, bukan?

Nah, saya pikir, sudah saatnya kita sebagai orang tua melihat kembali apakah cara-cara kita mendidik anak sudah tepat? Apakah bukan sekedar karena dahulu orang tua kita begini, maka ya sekarang kita menerapkan yang serupa. Padahal, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua kita, belum tentu apa yang dilakukan oleh orang tua kita itu benar semua. Kenapa? Karena tetap saja orang tua kita pun punya keterbatasan, sama dengan kita. Kalau karena keterbatasan kita kemudian kita berbuat sesuatu yang tidak tepat, berarti orang tua kita dahulu juga bisa begitu juga kan?

Selain itu, sebenarnya kita perlu untuk bisa menghargai kinerja yang sudah ditunjukkan oleh anak-anak kita. Bagaimana pun, kita harus menganggap bahwa mereka juga berupaya untuk menghasilkan kinerja yang bagus. Hanya saja, mungkin karena kita menggunakan standar yang terlalu tinggi buat mereka, akhirnya kita memandang mereka tidak berkinerja bagus. Padahal yang mereka tunjukkan sudah bagus, paling tidak buat usia dan lingkungan mereka.