Jumat, Juli 13, 2012

Law of Attraction

Alhamdulillaah, setelah beberapa tahun vakum, akhirnya bisa juga melakukan posting ke blog ini lagi.

Dalam posting-posting awal saya, saya pernah sebut bahwa sampai anak ketiga lahir, saya belum punya rumah. Kondisi sekarang sudah berbeda: anak empat dan sudah punya rumah sendiri (meskipun dengan mencicil...). Alhamdulillaah sekali lagi.

Dalam posting-posting awal saya juga, saya pernah sebut bahwa dengan bertambahnya anak, kehidupan kami sekeluarga jadi "lebih baik" lagi. Sekalipun lagi-lagi harus dilalui dengan sesuatu yang cukup menyesakkan dada dahulu. Tapi saya dan istri saya selalu percaya bahwa Allah sudah mengurus rizki kami sehingga kami tidak perlu khawatir. Dan memang benar, Allah sudah mengatur rizki buat kami. Alhamdulillaah sekali lagi.

Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya dengan judul di atas?

Sebenarnya judul di atas tidak akan saya bahas secara terperinci. Saya memakai judul di atas karena terinspirasi oleh perbincangan dalam milis alumni almamater tempat saya kuliah dulu tentang "Law of Attraction". Mungkin kalau ada yang bertanya, Law of Attraction itu hukum apa sih? Secara singkat (dalam uraian yang bukan bahasan pelajaran Fisika), inti dari hukum ini adalah kekuatan pikiran dan semesta yang mendorong sesuatu yang kita pikirkan bisa menjadi kenyataan. Sebenarnya sih, dalam uraian orang-orang awal yang menyebut-nyebut hukum ini tidak melibatkan Allah di dalamnya. Namun kalau saya pakai cara pandang saya sebagai muslim, pendekatan yang bisa diterima adalah ketika kita menginginkan sesuatu maka secara tidak sadar kita akan mengarahkan diri kita ke arah sana dengan doa dan usaha, entah mempersiapkan dana, atau yang lainnya, dan dengan izin Allah maka apa yang kita inginkan bisa terwujud.

Alhamdulillaah sekali lagi, saya dikaruniai istri yang sangat mendorong dalam banyak kebaikan. Salah satunya dalam urusan mempunyai rumah sendiri. Apakah belum punya rumah sendiri adalah jelek? Ya tentu saja tidak. Tetapi motivasi untuk mempunyai rumah sendiri dengan tujuan agar lebih bisa leluasa menerapkan syariat dalam keluarga tentu baik, bukan? Motivasi inilah yang membuat istri saya mendorong-dorong saya untuk bisa punya rumah sendiri. Jujur saja, sebenarnya saya sendiri berpikir, duit dari mana untuk beli rumah? Dalam keluarga kami, hanya saya yang bekerja mencari penghasilan buat keluarga, sedangkan istri saya bekerja dengan tugas mulianya: mengurus rumah tangga.

Oh ya, pada awalnya kami membina rumah tangga, kami tinggal di rumah saudara yang sudah saya kontrak sebelum saya menikah, bahkan jauh sebelum saya melamar istri saya. Ketika kami tinggal di situlah, anak pertama kami lahir. Namun karena bapak mertua saya (bapak istri saya) meninggal, kami kemudian pindah ke rumah paviliun orang tua istri saya yang menempel ke rumahnya supaya ada laki-laki (saya) yang dekat dengan rumahnya. Ketika kami tinggal di situlah, lahir anak kedua kami. Namun waktu yang berjalan menunjukkan bahwa lingkungan sekitar (kota dengan pertumbuhan dan pergaulannya) tidak mendukung tumbuh kembang anak-anak kami sesuai syariat. Maka begitu kami tahu bahwa rumah salah satu kakak istri saya kosong (letaknya di pinggir kota) dan boleh kami tempati, kami segera pindah ke sana yang lebih sepi dan lebih tenang. Ketika kami tinggal di sinilah, anak ketiga kami lahir. Nah di sini pulalah pikiran untuk mempunyai rumah sendiri benar-benar muncul.

Sebenarnya rumah kakak istri saya ini cukup nyaman. Tetapi namanya rumah orang lain, tetap saja kami merasa tidak leluasa untuk "ngapa-ngapain" di situ. Lagipula, bagaimana seandainya kakak istri saya ini tiba-tiba membutuhkan rumah yang kami tempati? Terpaksa harus cari rumah lagi, bukan? Karena itulah, dorongan istri saya cukup membuat hati saya tergerak dan badan saya bergerak. Maksudnya cari-cari rumah. Benar-benar cari rumah, bukan untuk beli, karena belum ada uang untuk beli. Di waktu senggang, saya ke sana ke mari lihat-lihat rumah, dan juga tanah, di kampung-kampung atau komplek-komplek di pinggir kota. Bukan di tengah kota ya, karena kami sudah merasa sumpek kalau tinggal di tengah kota. Namun karena uang untuk beli belum ada juga, terus terang kami juga berpikir untuk hutang. Kalau kata istri saya mah, kadang-kadang dengan hutang kita bisa memaksakan diri untuk bisa punya sesuatu (Memang benar, asalkan kita bisa mengelola hutang dan pembayarannya dengan baik. Tapi itu masalah lain ya, tidak akan dibahas di sini). Pada saat itu, terus terang doa saya kepada Allah untuk bisa memiliki rumah sendiri semakin gencar terpanjatkan (Dari dulu sudah berdoa begini, tetapi intensitasnya yang kurang) hingga akhirnya saat "itu" datang...

Awal tahun 2008, pada saat istri saya mengandung calon anak keempat, rizki dari Allah yang tak disangka-sangka datang dari keluarga saya sendiri (Terima kasih kepada ibu dan kakak saya). Relatif kecil sehingga tidak cukup untuk membeli rumah yang mencukupi kebutuhan kami, tetapi relatif besar untuk menjadi uang muka pembelian rumah tipe 36 di salah satu komplek perumahan di Kabupaten Bandung. Kekurangan uangnya dari mana lagi? Ya terpaksa meminta pembiayaan KPR dari salah satu bank syariah (Mengapa bank syariah? Karena kami ingin berhutang dengan "selamat" dari segi syariat. Tapi itu masalah lain ya, tidak akan dibahas di sini). Setelah menyelesaikan urusan ini-itu dengan pihak pengembang dan bank, rumah kami mulai dibangun pertengahan tahun 2008. Setelah beberapa bulan dibangun dan jadi serta ditambah ini-itu buat keperluan keluarga, akhirnya rumah kami siap dihuni pada akhir tahun 2008.

Akhir tahun 2008, anak keempat kami lahir. Dua pekan setelah kelahiran anak kami ini (awal tahun 2009), kami pindah ke rumah kami sendiri. Kata istri saya mah, ini rizki dari Allah dengan adanya tambahan anak kami. Alhamdulillaah sekali lagi, bahkan alhamdulillaah tiada henti...