Rabu, Desember 11, 2013

Anak Kayak Gini, Kok Bisa Ya?

Pada suatu hari, salah satu stasiun TV swasta menayangkan suatu potongan wawancara dengan Kak Seto Mulyadi. Saya tidak ingat bahasan besar dari tayangan itu, tetapi yang saya ingat dari kata-kata Kak Seto itu adalah dialognya dengan seseorang yang dikritik oleh Kak Seto karena bersikap keras kepada anaknya. Kata Kak Seto, orang itu memberi tanggapan seperti ini: "Kak Seto, ini belum apa-apa. Dulu yang saya terima dari orang tua saya empat belas kali lebih keras daripada ini."

Empat belas kali? Bagaimana menghitungnya ya?

Sekedar cerita dulu: Pada mid semester kemarin, anak saya yang pertama dan kedua memberikan surat dari sekolah. Isinya tentang pembagian rapor, tapi kali ini disertai pembahasan hasil selama tri wulan ini dengan wali kelas selama 1/2 jam. Ya, masing-masing orang tua mendapat jadwal bertatap muka secara pribadi dengan wali kelas. Semacam konsultasi, begitu lah. Jadi kali ini tidak ada pembagian rapor di mana semua orang tua siswa berkumpul di satu ruangan kemudian dipanggil satu per satu ke depan ke meja guru untuk mengambil rapor anaknya.

Cerita saya kali ini tentang pertemuan dengan wali kelas anak saya yang pertama. Isi pertemuan pada awalnya membahas pencapaian akademik anak saya ini. Lumayan juga, rerata nilainya jika dibikin peringkat untuk satu kelasnya adalah nomor dua. Tapi terus terang, saya dan istri saya sebenarnya kurang begitu peduli tentang pencapaian akademik begituan. Bukan apa-apa ya, mungkin karena kami menganggap pencapaian akademik tadi hanya sebagian dari pencapaian anak kami, bukan satu-satunya yang harus diperhatikan. Ya, masih banyak lagi pencapaian anak kami yang harus kami perhatikan: sikap, kemandirian, kedewasaan, ...

Karena hal-hal selain pencapaian akademik bagi kami juga penting, makanya saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apa saja sih kekurangan anak saya ini? Dijawab oleh wali kelas anak kami ini bahwa anak kami ini kurang teliti dan kurang bisa menegur temannya yang berbuat tidak baik atau tidak semestinya. Hmm...ya, saya pikir anak kami ini memang perlu lebih teliti. Sekalipun bisa mengerjakan soal, kalau tidak teliti ya sama saja, tentu hasilnya akan jelek. Adapun kalau anak kami ini kurang bisa menegur temannya, ya mungkin saja dia masih merasa segan untuk menegur langsung temannya. Paling-paling yang dia bisa adalah menyampaikan ke wali kelasnya untuk ditindaklanjuti. Ya tidak apa-apa, mungkin masih dalam proses dalam nahy munkar.

Lebih lanjut, saya bertanya kepada wali kelas anak saya ini, apakah anak saya ini bermasalah? Langsung saja wali kelas anak saya ini menjawab: "Oh, tidak, Pak. Justru saya bersyukur punya murid seperti anak Bapak ini yang tidak bermasalah". Iseng saja saya bertanya: "Apakah ada anak yang bermasalah?" Dijawab juga langsung oleh wali kelas anak saya ini: "Oh, banyak, Pak. Terutama yang laki-laki." Wah!

Lebih lanjut lagi, wali kelas anak saya ini menuturkan kelebihan-kelebihannya, misalnya mandiri dan hal-hal lain yang dimiliknya. Wah, saya sendiri cukup terkejut. Kok bisa ya? Padahal saya sendiri suka menegur anak saya ini yang kalau mengerjakan sesuatu di rumah masih belum menunjukkan kinerja yang sesuai standar saya.

Kinerja? Kok seperti bekerja di kantor saja ya? Terus apa hubungannya dengan kata-kata Kak Seto di atas?

Saya pikir, saya mungkin menggunakan standar "tinggi" buat anak saya. Padahal dengan usia seukuran anak saya ini, mungkin sebenarnya kinerjanya sudah cukup bagus, paling tidak di sekolahnya. Saya pikir lebih lanjut, ya barangkali karena saya memakai standar sebagaimana yang diterapkan orang tua saya dahulu kepada saya: bekerja harus sempurna menurut standar orang tua saya dan kalau tidak sesuai, ya harus terima "konsekuensi-konsekuensinya". Ini juga yang dipikir oleh istri saya tentang saya, yaitu bahwa sedikit banyak, "ajaran" orang tua ini kemudian menurun ke saya dan berpengaruh kepada saya dalam mengajari anak saya sendiri.

Bagus? Sebentar...

Kata-kata Kak Seto di atas sebenarnya menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa barangkali orang tua menerapkan sesuatu yang serupa dengan yang dilakukan oleh orang tuanya dulu kepada anaknya. Memang bisa jadi lebih "ringan". Namun tetap saja terjadi kecenderungan yang sama di mana praktik yang dulu terjadi, berulang di kemudian hari. Alhamdu lillaah kalau praktik yang diulang adalah yang baik, tetapi bisa saja kan, yang berulang adalah kekerasan atau penyiksaan. Tidak mustahil, bukan?

Nah, saya pikir, sudah saatnya kita sebagai orang tua melihat kembali apakah cara-cara kita mendidik anak sudah tepat? Apakah bukan sekedar karena dahulu orang tua kita begini, maka ya sekarang kita menerapkan yang serupa. Padahal, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua kita, belum tentu apa yang dilakukan oleh orang tua kita itu benar semua. Kenapa? Karena tetap saja orang tua kita pun punya keterbatasan, sama dengan kita. Kalau karena keterbatasan kita kemudian kita berbuat sesuatu yang tidak tepat, berarti orang tua kita dahulu juga bisa begitu juga kan?

Selain itu, sebenarnya kita perlu untuk bisa menghargai kinerja yang sudah ditunjukkan oleh anak-anak kita. Bagaimana pun, kita harus menganggap bahwa mereka juga berupaya untuk menghasilkan kinerja yang bagus. Hanya saja, mungkin karena kita menggunakan standar yang terlalu tinggi buat mereka, akhirnya kita memandang mereka tidak berkinerja bagus. Padahal yang mereka tunjukkan sudah bagus, paling tidak buat usia dan lingkungan mereka.

Tidak ada komentar: