Selasa, November 19, 2013

Itu Cuma Wadahnya, Tergantung Kita Yang mengisinya

Tahun 2013 ini adalah waktunya bagi anak kami yang ketiga untuk masuk Sekolah Dasar. Namun atas dasar pertimbangan ini dan itu, akhirnya kami mendaftarkannya ke Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) tempat kakak-kakaknya bersekolah. Sebagaimana beberapa sekolah Islam yang lain, di MIS ini dilakukan tes kematangan kepada anak-anak yang didaftarkan untuk masuk. Dan pada awal tahun ini anak kami menjalani tes kematangan tersebut di MIS itu.

Karena kebetulan saya harus bekerja dan ibunya (maksud saya: istri saya) harus mengantar jemput adiknya (anak kami yang keempat) yang bersekolah juga di suatu PAUD yang jaraknya berjauhan dengan MIS itu, maka kami orang tuanya tidak bisa menungguinya selama menjalani tes. Kami titipkan saja dia kepada kakak-kakaknya. Maksudnya titip untuk dilihat-lihat selama tes dan kalau sudah selesai tes, ya ditemani.

Setelah menjemput anak kami yang keempat, istri saya langsung menjemput anak kami yang ketiga. ALhamdu lillaah anak kami ini bisa menjalani tes dengan lancar. Setelah selesai tes juga tidak ribut mencari-cari orang tuanya. Kata istri saya, anak kami ini setelah selesai tes, ya asyik saja lihat kakak-kakaknya bermain bersama teman-temannya. Bahkan ketika dia diajak pulang pun, masih sempat berkata "tunggu dulu". Mungkin masih merasa asyik melihat calon kakak-kakak angkatannya bermain-main di sekolah itu.

Beberapa bulan kemudian, ada undangan atau panggilan dari pihak sekolah (MIS di atas) kepada kami untuk melakukan konsultasi dengan psikolog yang melakukan tes kematangan pada anak kami. Karena istri saya tidak bisa hadir, akhirnya saya yang hadir sendirian untuk keperluan konsultasi ini. Dan singkat cerita, akhirnya saya datang pada hari dan jam yang ditentukan untuk konsultasi dengan sang psikolog.

Pada sesi konsultasi di atas, sang psikolog menerangkan terlebih dahulu istilah-istilah dan pengertian-pengertiannya dari skala yang dipakai untuk mengukur kematangan anak kami. Dan singkat cerita, pada kesempatan itu, sang psikolog menyampaikan bahwa anak kami mempunyai tingkat kemampuan yang di atas rata-rata, bahkan untuk beberapa hal, kemampuannya setingkat dengan anak yang usianya jauh di atasnya.

Saya pikir, "Ah masa sih?". Saya sendiri merasa bahwa anak saya itu biasa-biasa saja. Memang ada hal-hal yang sejujurnya saya bisa katakan istimewa atau tidak biasa pada anak saya itu, dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (paling tidak yang kami kenal/temui). Makanya saya kemudian menanyakan, bagaimana metode yang dipakai untuk pengukuran itu, demi untuk meyakinkan diri saya sendiri atas pernyataan sang psikolog. Sang psikolog kemudian membeberkan secara singkat metode-metode yang dipakai dalam pengukuran untuk menjawab pertanyaan saya di atas. Memang ada hal-hal yang tetap tidak bisa saya mengerti, tapi secara umum saya bisa terima penjelasannya.

Ada hal yang cukup membuat saya berpikir cukup dalam dari penjelasan sang psikolog, yaitu kemampuan-kemampuan anak kami yang di atas rata-rata anak seusianya menurut hasil tes: "Itu cuma wadahnya saja, tergantung kita yang mengisinya". Saya memahaminya seperti ini: Hasil tes cuma menunjukkan potensi-potensinya saja, tergantung orang tuanya untuk menumbuhkembangkannya setelah itu dalam proses pendidikan anaknya.

Saya jadi teringat hadits Nabi Muhammad SAW di mana beliau menyebutkan bahwa tiap anak itu dilahirkan atas fitrahnya. Kemudian orang tuanya yang akan mengislamkannya, atau membuatnya jadi yahudi, nasrani, atau majusi. Dalam hadits ini jelas sekali diindikasikan bahwa anak itu sudah diberi potensi untuk baik dan dipastikan bahwa orang tua sangat berperan dalam membentuk si anak tersebut.

Makanya saya kemudian berpikir bahwa bisa jadi pada anak yang dipandang orang tuanya biasa-biasa saja, terdapat potensi yang besar sekali. Tinggal orang tuanya apakah bisa melihat potensi tersebut ataukah tidak. Mungkin perlu bantuan orang lain dalam menggali potensi anak (Kenapa tidak?). Kemudian ya tinggal orang tuanya lagi yang harus bisa membentuk anak dengan segala potensinya itu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Semoga Allah SWT memudahkan jalan kami dalam mendidik anak-anak kami sehingga dapat menjadi orang-orang yang shalih-shalihah yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain/masyarakat.

Tidak ada komentar: