Senin, Januari 18, 2021

EKONOMI ISLAM

PENDAHULUAN

Artikel ini disusun sebagai upaya untuk memberikan wawasan yang lebih baik, menindaklanjuti capaian-capaian yang ada dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam bermasyarakat. Bagaimanapun apa yang sudah ada/dicapai sekarang ini oleh umat Islam merupakan kondisi positif, salah satunya dengan sudah terbentuknya lembaga-lembaga sosial dan keuangan yang mengacu kepada prinsip-prinsip syariah, walaupun yang disebut prinsip syariah ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sekira 1400 tahun yang lalu.

Dibandingkan dengan bidang pendidikan yang mengajarkan Islam, bidang keuangan syariah (yang tentu terkait dengan perniagaan, pinjam meminjam, hutang, dan lain-lain) berkembang terlambat. Lembaga pendidikan Islam sudah cukup “tua” sedangkan lembaga keuangan syariah bisa dikatakan berkembang dengan lambat dimana dari segi jumlah dan cakupan layanannya jauh lebih sedikit.

Oleh karena itu, pembahasan tentang ekonomi Islam perlu mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih besar. Hal ini harus dimengerti karena Islam sebagai suatu sistem sebenarnya mencakup semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Pengamalan Islam yang menyeluruh demi kebaikan agama kita sendiri, mestinya dipertimbangkan dengan juga mencakup aspek ekonomi ini juga, tidak hanya urusan shalat, puasa, zakat, haji, nikah, atau cerai. Bahkan justru kita harus menganggap bahwa urusan ekonomi ini juga termasuk dalam urusan ibadah juga sehingga mau tidak mau, berat atau ringan, harus kita amalkan juga.

LABEL SYARIAH

Sekarang ini, jika kita melihat sesuatu, misalnya lembaga, yang berlabelkan “Syariah”, maka mudah sekali bagi kita untuk mengatakan bahwa lembaga itu bersandarkan ajaran Islam. Sekilas memang tidak salah. Namun penempatan label syariah ini seharusnya dilandaskan pada adanya upaya untuk benar-benar menerapkan ajaran Islam di dalamnya, bukan semata untuk mengonversi atau menukar dari sesuatu yang tadinya “salah” menjadi “bisa diterima umat Islam”.

Hal di atas ini penting karena seolah-olah jika dilabeli syariah, maka umat Islam akan bisa menerima, atau melakukannya, karena sudah “halal”. Ini berbahaya, karena kalau tidak disikapi dengan benar, maka pelabelan ini bisa menjadi salah kaprah dimana sesuatu yang salah jadi benar karena label, misalnya orang menyebut “pacaran syariah”, padahal pacaran itu tidak ada dalam Islam, merupakan perbuatan munkar, dan tidak bisa jadi halal karena label. Ini berbeda dengan perniagaan atau jual-beli karena praktek ini memang diatur dalam Islam. Kenapa harus diatur? Praktek jual-beli sudah ada sebelum Muhammad SAW dijadikan Rasulullah, tetapi Islam mengatur praktek mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang sehingga ada perniagaan yang sesuai syariah dan ada juga yang melanggar syariah.

Pelabelan syariah sendiri menurut penulis sebenarnya tidak perlu kalau semua umat Islam sudah secara konsisten menjalankan agama secara keseluruhan. Namun kenyataannya adalah masih banyak umat Islam yang tidak tahu agamanya sendiri, tidak tahu penerapan ajaran Islam dalam aspek-aspek kehidupan, sehingga akhirnya sadar atau tidak, lebih memilih yang di luar Islam, bahkan hingga mengatakan bahwa yang di luar itu “sama saja” atau malah parahnya adalah “lebih baik”.

Oleh karena itu, pelabelan dalam arti menyematkan “syariah” sebagai status atau identitas menjadi semacam “pembeda” dari yang ada sekarang ini bisa dikatakan perlu supaya umat Islam bisa dibawa kepada pengertian yang lebih terarah dan selanjutnya pada pemikiran dan tindakan yang diharapkan, yaitu lebih memilih yang syariah ini, dibandingkan memilih yang lain.

PENGETAHUAN MASYARAKAT

Sebagaimana sudah disinggung di atas, pengetahuan umat Islam pada umumnya bisa dikatakan kurang tentang ajaran agamanya sehingga tidak mengherankan jika penerapan aspek ekonomi Islam juga kurang. Dan ini seperti lingkaran saja di mana penerapan ajaran Islam yang kurang juga memberikan dampak terhadap pengetahuan yang tidak bertambah juga. Dalam kalimat lain: Kalau pengetahuan bertambah, maka seharusnya penerapannya juga bertambah, sedangkan kalau penerapan bertambah, maka akan meningkatkan pengetahuan juga.

Oleh karena itu, sudah semestinya juga terutama ulama sebagai kalangan cerdik pandai menempati peran lebih dalam mengintensifkan upaya untuk meningkatkan pengetahuan umat Islam dengan dakwah dan taklim. Dengan dakwah, umat Islam diajak datang untuk lebih mendalami ajaran agamanya. Yang sudah mau datang, diajari dengan intensif supaya pengetahuannya bertambah dan lebih dalam.

Dalam pandangan penulis, seandainya pengetahuan umat Islam bertambah dan tentu juga dalam penerapan pengetahuan itu, maka sesuangguhnya pelabelan syariah tidak perlu lagi, karena umat Islam sudah secara amal menerapkan ajaran Islam dalam aspek-aspek kehidupan mereka.

BAHASAN FIKIH

Sejatinya ulama sudah membahas ekonomi Islam sejak dahulu kala. Pembahasan yang ada pun sebenarnya sudah sangat dalam, bahkan pembahasan suatu hal kadang dilakukan dengan sangat rinci hingga ke urusan yang mungkin sangat jarang terjadi. Namun masalahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas, yaitu kebanyakan umat Islam sedikit mempelajari ajaran agamanya sehingga pembahasan ulama yang tertuang dalam sekian banyak kitab pun jadi tidak diperhatikan, padahal banyak pengetahuan di dalamnya yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis perlu menyebutkan satu kitab (yang bisa dikatakan sebagai kitab fikih) dengan judul Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam (yang mempunyai arti: “Mencapai Keinginan Melalui Dalil-Dalil Hukum”) yang disusun oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, seorang Qodhi (hakim) Islam di Mesir abad ke-9 H. Kitab ini cukup menarik karena merupakan kitab yang cukup ringkas yang secara fisik tidak terlalu tebal jika dipandang sebagai umumnya sebuah buku zaman sekarang. Namun dari segi isi, terdapat banyak keistimewaan dalam kitab ini walaupun kitab ini sebenarnya kitab yang ditulis sebagai hadiah dan persembahan Ibnu Hajar untuk putranya, sebagai materi untuk mendidik anaknya dengan ilmu Islam[1].

Metode yang digunakan oleh Ibnu Hajar dalam menyusun kitab ini ialah dengan metode tematis (maudhu’i) berdasarkan tema-tema fikih, mulai dari Bab Bersuci (Thaharah) sampai Bab Kompilasi (al-Jami’). Ia menyeleksi beberapa hadits dari kitab-kitab shahih, sunan, mu’jam, dan al-Jami yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih[2].

Terkait dengan Ekonomi Islam, kitab (yang secara singkat penulis sebut sebagai Bulughul Marom) ini menyebutkan hadits-hadits yang cukup banyak dalam bagian yang disebut sebagai Kitabul Buyu’ (Kitab Jual Beli). Bagian ini membahas banyak hal dalam perniagaan secara khusus maupun ekonomi secara umum. Menurut penulis, bahasan di sini merupakan bahasan aktual, artinya jika dipelajari secara mendalam, maka penerapannya masih berlaku hingga sekarang, walaupun tentu memerlukan bahasan teknis sebagaimana umumnya dalam menerapkan suatu hukum.

Sayangnya adalah kembali bahwa kebanyakan umat Islam sedikit mempelajari ajaran agamanya, sehingga kitab yang sebenarnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak masa Indonesia merdeka ini pun jarang dilirik. Padahal sekarang pun buku terjemahnya mudah diperoleh di toko-toko buku karena penerjemah maupun penerbitnya sudah cukup banyak, walaupun tentu saja untuk mempelajari tetap membutuhkan bimbingan guru yang kompeten, tidak bisa dibaca begitu saja sendiri. Jadi sudah beli dan punya, tentu tidak cukup. Harus berguru juga dengan benar.

AKTUALISASI PADA MASYARAKAT

Walaupun penulis memandang bahwa belajar itu merupakan awal dari semuanya yang artinya bahwa ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Bukhariy[3], tetapi para cerdik pandai semestinya mencari cara supaya ajaran Islam itu bisa diterapkan di masyarakat tanpa diartikan bahwa semua umat Islam harus pintar dahulu mengenai ajaran agama, baru kemudian diamalkan. Dalam prakteknya, penulis berpendapat bahwa ulama lah yang harus mempelajari secara mendalam sembari mengajarkannya kepada umat. Namun mana-mana ajaran yang bisa diterapkan, ya ulama terapkan saja pada masyarakat sebagai aktualisasi ajaran Islam itu.

Bagaimana cara untuk aktualisasi ajaran Islam pada masyarakat itu? Hal yang penting diperhatikan dalam hal ini tentunya adalah bertahap. Selain itu haruslah bisa menjangkau sampai tataran teknis yang solutif karena orang awam tidak dengan mudah dapat mengakses teori dalam ajaran agama, tetapi seringkali membutuhkan jawaban langsung terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan tentu ini semua tetap harus di bawah bimbingan cerdik pandai yang kompeten.

Oleh karena itu, bahasan tentang ekonomi Islam perlu mencakup tataran teknis yang bahkan perlu menjangkau hingga tingkat masyarakat yang mikro, misalnya lingkup kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT. Kenapa ini diperlukan?

Penulis melihat bahwa sebenarnya Indonesia ini mempunyai banyak akademisi ekonomi Islam, bahkan ada jurusan/departemen di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi ekonomi Islam, tetapi dampaknya kurang terhadap masyarakat. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya praktek di masyarakat yang dianggap biasa, misalnya mudahnya umat Islam meminjam uang dari rentenir, kecurangan dalam timbangan/takaran, dan sebagainya.

Jangan-jangan bahasan ekonomi Islam selama ini terlalu teoritis dan makro sehingga hanya menjangkau tataran yang tinggi dan tidak bisa dimengerti oleh masyarakat. Begitu dihadapkan kepada masalah-masalah lapangan di lingkup kecil (katakanlah kelurahan/desa, atau bahkan RW/RT), ternyata tidak aplikatif dan tidak bisa menjadi solusi. Bisa jadi ini karena para akademisi masih lebih banyak menyentuh tataran teori daripada teknis, atau bahkan yang parahnya adalah “memaksakan” untuk memasukkan teori ekonomi dari luar ke dalam ekonomi umat Islam sehingga umat malah tidak bisa melihat keluhuran ajaran Islam dalam ekonomi, tetapi malah menelan teori yang sejatinya bukan untuk diamalkan.

Oleh karena itu, penulis melihat bahwa ekonomi Islam bisa lebih aplikatif jika teorinya bisa ditindaklanjuti sampai teknis. Misalnya dalam lingkup kecil bisa diupayakan untuk menggalang potensi untuk meniadakan praktek pinjam ke rentenir dengan menyediakan pembiayaan yang sesuai syariah. Atau menerapkan kerjasama bisnis dengan penyertaan modal dengan pola bagi hasil yang sesuai syariah. Dan banyak lagi yang lain. Intinya adalah menerapkan syariah pada praktek-praktek ekonomi yang sehari-hari ada di masyarakat.

FORMALISASI PADA MASYARAKAT

Penulis melihat bahwa penerapan-penerapan ekonomi Islam di atas bisa diformalkan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat. Contoh nyatanya sebenarnya sudah banyak dan bahkan sudah ada yang tercakup dalam peraturan-peraturan dari pemerintah dengan berbagai macam bentuk dan tingkat peraturan tersebut. Makanya kita bisa dapati bagaimana misalnya perbankan syariah bisa dibentuk secara formal dan bahkan masuk dalam ruang lingkup kerja OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di samping adanya komite nasional khusus untuk ini, yaitu Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang memang punya tugas juga untuk mengembangkan perbankan syariah[4]. Artinya pengakuan itu sudah ada dan patut disyukuri. Namun itu semua tentunya mudah dilihat sebagai lembaga besar yang di lain sisi mungkin juga terlihat sebagai lembaga yang tidak mudah diakses oleh masyarakat kecil.

Oleh karena itu, penerapan ekonomi Islam secara formal pada ruang lingkup yang lebih kecil patut dipertimbangkan. Salah satu yang penulis pandang sebagai formalisasi ekonomi Islam yang mudah di sini adalah (termasuk tapi tidak terbatas pada) koperasi karena koperasi bisa bermula dari sekumpulan orang di masyarakat yang kemudian bisa ditingkatkan sesuai dengan peraturan pemerintah yang ada. Tentu koperasi yang dimaksud ini adalah koperasi syariah, yaitu bentuk koperasi yang segala kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, simpanan pokok, sesuai dengan pola bagi hasil “Syariah” dan investasi[5].

MOTIVASI

Di Masjid Baitul Mu’min, RW 15 Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, telah berdiri Koperasi Konsumen Syariah Baitul Mu’min (KSBM). KSBM berdiri pada awalnya didorong untuk menjadi solusi atas merajalelanya rentenir yang menawarkan pinjaman kepada masyarakat di lingkungan RW, padahal siapa saja yang sudah “terjebak” bisa mendapatkan “buntut panjang” masalah yang dia masuki.

Dalam prakteknya, KSBM dengan label syariah tentunya mempunyai tanggung jawab juga dalam menerapkan ekonomi Islam sesuai lingkup layanannya hingga mengedukasi anggota dan bahkan lingkungan sekitarnya untuk menyadari bahwa Islam memberikan solusi melalui aspek ekonomi yang mudah-mudahan dapat berdampak secara khusus bagi jamaah masjid dan masyarakat RW dan secara umum bagi lingkungan yang lebih luas.

Dengan semakin banyaknya layanan KSBM, lambat laun masyarakat RW, terutama jamaah masjid, dapat memperoleh layanan koperasi yang semakin bisa menjadi solusi masalah-masalah mereka, terutama dalam aspek keuangan dan bisnis (penghasilannya dan keluarga).

Motivasi di atas akan menjadi motivasi yang terus dipupukkembangkan bagi perjuangan para pengurus KSBM sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan luas. Mudah-mudahan motivasi ini juga bisa menjadi inspirasi dan memotivasi umat Islam yang lain untuk bisa menumbuhkembangkan ekonomi Islam sehingga umat bisa lebih tahu, tertarik, semakin banyak mempelajari, dan mengamalkan ajaran Islam yang penuh barokah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1]    https://irtaqi.net/2016/09/01/introduksi-kitab-bulughul-maram-ii/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:01

[2]    https://risalahmuslim.id/apa-itu-bulughul-maram/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:46

[3]    https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html diakses pada 9 Januari 2021 jam 12:50

[4]    https://knks.go.id/berita/288/gandeng-kneks-kementerian-koperasi-dan-ukm-dorong-pengembangan-koperasi-syariah?category=1 diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:34

[5]    https://ajaib.co.id/apa-itu-koperasi-syariah-pelajari-di-sini-yuk/ diakses pada 9 Januari 2021 jam 13:31

 

Selesai pada hari Sabtu, jam 14:50, 25 Jumadil Awwal 1442/9 Januari 2021

Ditulis untuk bulletin Al-Tafkir, masjid Baitul Mu’min, edisi Jumadil Akhir 1442

                                                                    Diterbitkan kembali di Blog pribadi ini sebagai dokumentasi 

Tidak ada komentar: