PENDAHULUAN
Tulisan ini disusun sehubungan dengan semakin masifnya lalu
lintas pembicaraan terkait penggunaan masker yang dikatakan sebagai bagian dari
protokol kesehatan (prokes) dalam kondisi pandemi Covid-19. Masifnya
pembicaraan ini sebenarnya merupakan hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah
jika menekankan penggunaan masker ini ke semua tempat dan waktu hingga dibawa
kepada pengertian bahwa orang yang tidak menggunakan masker berarti tidak
disiplin prokes dan terlebih lagi jika orang tersebut begitu saja dianggap
salah.
PESAN IBU
Dikutip dari laman
situs CNN[1], pada awal bulan
Oktober 2020, Satgas Covid-19 mulai mengampanyekan “Pesan Ibu” untuk
menggaungkan pesan:
2. jaga jarak, dan
untuk meredam penularan pandemi virus corona di Indonesia
yang disampaikan dalam siaran pers pada tanggal 1 Oktober 2020. Bahkan demi menggaungkan
kampanye ini, Satgas Covid-19 menggandeng band Padi Reborn yang telah
meluncurkan lagu pendek berjudul “Ingat Pesan Ibu”.
Kampanye Pesan Ibu ini dilatarbelakangi pencarian cara yang
universal untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat. Hal ini mengingat masyarakat
Indonesia yang terdiri atas bermacam latar belakang budaya hingga tingkat
pendidikan. Namun ada satu hal yang menyatukan beragam latar belakang itu,
yakni semua warga Indonesia pasti dilahirkan dari ibu.
HADITS TENTANG MENUTUP MULUT DALAM SHALAT
Sejatinya terdapat hadits Nabi Muhammad tentang larangan
menutup mulut dalam shalat. Dikutip dari laman
situs almanhaj.or.id[2], dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl dan
menutup mulut ketika shalat.”
Keterangan: Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)],
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no.
376), pada kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat
kedua saja.
Pada prinsipnya, menutup mulut dalam shalat merupakan
perbuatan makruh yang dalam hal ini perlu dimengerti dahulu bahwa kata “makruh”
mestinya diartikan sebagai “yang dibenci”, bukan dalam pengertian orang awam:
“Kalau ditinggalkan dapat pahala, tapi kalau dilakukan tidak berdosa”. Bahkan
dalam hal ini juga, menutup hidung dalam shalat juga makruh, sebagaimana
dikutip dari laman
situs alislamu.com[3].
Penulis menyakini bahwa pembahasan hadits ini sangat jarang
dilakukan sehingga banyak muslim belum pernah mendapatkan keterangan tentang
hadits ini. Hal ini wajar karena banyak muslim sedikit mempelajari
bahasan-bahasan yang merupakan pokok ajaran Islam, apalagi bahasan-bahasan seperti
ini.
Ditambah lagi hadits ini sedikit banyak bertentangan dengan
“arus utama” pembicaraan pada saat ini, yaitu “Pesan Ibu” sebagaimana
disebutkan di atas, sehingga kalaupun dibahas, akan sangat mudah dibawa kepada
pengecualian untuk tidak diamalkan. Ini bisa dilihat dari pembicaraan yang
timbul, termasuk tanya-jawab, dalam berbagai forum termasuk media massa maupun
media sosial, terutama setelah dimulainya masa pandemi Covid-19 ini.
BERAGAMA: LOGIKA ATAU YAKIN TERHADAP
KEBAIKAN
Dalam kitab Riyadhush-Shalihin, terdapat satu bab dengan
judul Yakin dan Tawakkal yang berisi ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang
memberikan pengertian tentang harusnya kita bersandar kepada Allah SWT. Yang
menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu maksud itu hanyalah Allah SWT sendiri.
Bahkan dalam kondisi yang secara lahiriah tidak memungkinkan secara logika pun,
kita diberi tuntunan untuk berserah diri
kepada Allah SWT sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim AS ketika
dilemparkan ke dalam api seperti yang tercantum dalam hadits pada Bab Yakin dan
Tawakkal dari kitab Riyadhush-Shalihin tersebut.
Pada dasarnya manusia diberi akal yang membedakannya dengan
makhluk lain. Namun ternyata logika tersebut tidak bisa mencakup semua hal atau
pasti mempunyai keterbatasan. Sebagai buktinya adalah kejadian yang menimpa
Nabi Ibrahim AS di atas yang pada dasarnya manusia memahami bahwa api itu panas,
tetapi penyandaran beliau kepada Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan
Allah SWT di atas segalanya sehingga api pun bisa dingin sebagaimana diperintah
oleh-Nya.
Walaupun akal bisa kita pergunakan untuk berlogika demi
menguatkan iman kita kepada Allah SWT, tapi logika semata tidaklah bisa menjadi
dasar dalam beragama Islam. Logika tidaklah bisa dikedepankan untuk beragama
Islam, tetapi mengikuti dalil Al-Quran dan haditslah yang seharusnya dikedepankan
dalam beragama sebagaimana kata salah seorang shahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu
Ali RA tentang mengusap khuf. Dikutip dari laman
situs muslim.or.id[4], beliau mengatakan:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ
أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah
khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya
(sepatunya).”
Keterangan: HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan
dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani
menshahihkan hadits ini.
Penulis meyakini bahwa sunnah Nabi Muhammad SAW yang
ditunjukkan oleh dalil shahih pasti benar dan menghasilkan banyak kebaikan,
walaupun kebaikan itu tidak diterangkan oleh beliau, dan juga walaupun sunnah
tersebut terlihat “menyimpang” dari logika. Namun sudah semestinya prinsip
untuk memegang sunnah Nabi menjadi prinsip kita sebagaimana disebutkan dalam
Al-Quran, yaitu surat Al-Hasyr ayat 7[5]:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ
وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ
الْعِقَابِۘ - …
“…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Terlihat bahwa ayat di atas juga menyebutkan tentang
ketakwaan dan hukuman Allah SWT yang berarti bahwa prinsip memegang sunnah Nabi
itu terkait dengan ketakwaan dan bahkan ada ancaman buat yang menyimpang dari
ketakwaan itu.
Sekali lagi, penulis menyakini bahwa melaksanakan sunnah
Nabi secara teguh akan menghasilkan banyak kebaikan, yang bahkan lebih banyak
daripada sekedar tidak terkena Covid-19. Artinya jika kita menjaga sunnah ini
walaupun terlihat menyimpang dari logika, katakanlah sebagai contoh adalah
tidak menutup mulut ketika shalat, kita akan mendapatkan banyak kebaikan. Tidak
hanya bagi kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain, terutama yang ada di
sekitar kita.
Pertanyaannya kemudian yang mungkin muncul adalah: “Apakah
mungkin dengan tidak menutup mulut ketika shalat karena menjaga sunnah, kita
dan orang-orang yang di sekitar kita ketika shalat bisa tidak kena
Covid-19?” Jawabannya ya “Bisa saja”.
Karena apa? Karena kita tidak tahu benar yang mana saja kebaikan yang Allah
sediakan bagi kita karena menjaga sunnah Nabi. Bisa jadi itu mencakup
keselamatan kita terhadap Covid-19. Tidak mungkin kebaikan itu kita katakan
berlaku, kecuali pada saat pandemi. Pada saat pandemi ada, kita katakan
kebaikan itu tidak ada lagi.
Tidak masuk logika, tidak berarti itu tidak benar. Sekali
lagi karena beragama tidak bersandarkan pada logika semata. Bahkan bukti nyata
bisa diperlihatkan dari amal agama yang bertentangan dengan logika, tetapi
sangat mudah dipahami bagi yang biasa mengamalkan dan meyakini kebenaran amal
tersebut. Sebagai contoh adalah sedekah yang dikatakan oleh Nabi SAW
sebagaimana dikutip dari laman
situs rumaysho.com[6] sebagai berikut:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”
Keterangan: HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah
Pada dasarnya, sedekah itu secara nyata mengeluarkan harta,
tapi disebut Nabi tidak mengurangi harta. Tentu ini bertentangan dengan logika.
Namun kenyataannya, orang yang bersedekah memang tidak berkurang hartanya,
bahkan bisa jadi dia mendapatkan berlipat kebaikan dari sedekah yang dia
lakukan. Dan sekali lagi tentunya ini mudah dipahami oleh orang yang biasa
mengamalkan dan meyakini kebenaran amal sedekah ini.
PANDUAN COVID-19 DAN KONDISI SHALAT
BERJAMAAH
Dalam Webinar Kupas Cara Cerdas Hadapi COVID-19 Tanpa Khawatir di Tahun 2021 yang diselenggarakan Gugus Tugas COVID-19 RW 15 Jatiendah pada 1 Januari 2021, dr. Mutia Nurhayati (Kepala Puskesmas Cilengkrang) menyebutkan bahwa berpapasan saja, misalnya lewat naik motor bertemu di jalan sambil mengucapkan salam, dadah-dadahan, bukan termasuk kontak erat/dekat dengan orang yang positif kena Covid-19 sehingga kita bisa terkena juga. Tapi kontak erat yang dimaksud adalah bertemu dengan orang yang positif tersebut dalam satu waktu tanpa perlindungan kemudian berkomunikasi selama minimal 15 menit dengan jarak kurang dari 1 meter. Kalau bertemu di luar yang ada sinar matahari, maka virus pada droplet akan mati (Lihat https://youtu.be/hmEqb2YOFCg pada 1:11:58 hingga 1:12:01). Dari sini penulis menyimpulkan kontak erat itu adalah jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut:
1.
Tanpa perlindungan
2.
Berkomunikasi (penulis
mengartikannya dengan bercakap-cakap)
3.
Durasi komunikasi minimal
15 menit
4.
Komunikasi dilakukan dengan
jarak kurang dari 1 meter
Penulis tidak bisa menyimpulkan bahwa jika salah satu saja
terpenuhi maka sudah dianggap kontak erat. Tapi penulis lebih condong
menyimpulkan bahwa semua kondisi di atas harus dipenuhi sehingga bisa disebut
kontak erat yang dapat menularkan Covid-19.
Bagaimana kalau kita membandingkan kondisi shalat berjamaah
di masjid dengan definisi kontak erat di atas?
Jika kita melihat kondisi shalat berjamaah di masjid, maka kalaupun
shalat dilakukan tanpa masker dan barisan/shaf shalat dirapatkan, maka tetap saja
ada yang tidak dipenuhi, yaitu tidak ada percakapan dan durasinya tidak lebih
dari 15 menit, karena umumnya shalat berjamaah tidak selama itu dan peserta
shalat berjamaah (terutama makmum) bisa saja datang diam, shalat diam (kecuali
mengucapkan “Aamiin”), setelah shalat diam (karena berdzikir dan berdoa), lalu
pulang. Kecuali jika sebelum shalat mengobrol lama dan dekat dengan orang lain,
atau sehabis shalat juga mengobrol lama dan dekat dengan orang lain.
Dari perbandingan di atas, penulis memandang bahwa shalat
berjamaah di masjid tidaklah menjadi masalah, bahkan seandainya makmum tidak
memakai masker dan merapatkan barisan. Anggaplah statistik pasien Covid-19 bisa
sebagai bukti, maka kita bisa lihat bahwa orang shalat berjamaah dari dulu
hingga kini dan nanti, tetap akan ada (bahkan ada pula yang tetap merapatkan
barisan dan tanpa bermasker), tetapi tidak menjadi kluster yang masif, kalaulah
tidak bisa dikatakan tidak ada. Kalau yang shalat berjamaah dengan cara begitu
tetap ada, apalagi ternyata banyak, maka seharusnya pasien Covid-19 akan
bertambah banyak dengan sebab ini, karena banyak orang yang tetap rindu ke
masjid dan tetap akan mempertahankan shalat berjamaah di masjid, apapun
keadaannya.
Sebenarnya kalau kita melihat pembicaraan yang muncul
tentang solusi mengatasi Covid-19, ada yang mengatakan kita harus berjemur,
berolahraga, dan mendekatkan kepada Allah SWT. Penulis berpikir: Bukankah ke
masjid mengumpulkan itu semua? Jika kita ke masjid lima kali sehari, maka kita
akan terpapar sinar matahari, berjalan (yang artinya juga berlahraga, walaupun
dianggap ringan), dan jelas mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukankah ini
sebenarnya solusi? Namun kenapa ke masjid malah jadi dipermasalahkan? Ke masjid
jadi seolah-olah kontra-produktif atau anti-solusi karena bertentangan dengan “arus
utama”.
Kalau boleh berpikiran “nakal”, maka penulis bisa bertanya
tentang para pasien Covid-19 yang ada, dari manakah mereka tertular? Penulis
yakin bahwa kebanyakan itu terjadi bukan karena shalat berjamaah di masjid,
kalaulah tidak bisa dikatakan tidak ada yang tertular gara-gara shalat
berjamaah di masjid.
Kalaulah jadi masalah, penulis memandang bahwa itu bisa terjadi
sebelum dan sesudah shalat berjamaah, karena perilaku orangnya bisa masuk dalam
definisi kontak erat di atas. Makanya bisa saja pesantren mempunyai penghuni
positif Covid-19 karena interaksi yang masuk definisi ini bisa di mana saja,
misalnya di barak tidur, toilet, kantin, dan sebagainya.
Oleh karena itu, penulis memandang jika seseorang tanpa
bermasker berjalan di luar, katakanlah ke masjid, kemudian di jalan tidak
bercakap-cakap dengan siapa pun (kalaulah bercakap-cakap juga pasti sebentar,
cuma basa-basi, dalam kondisi luar yang bisa jadi terpapar sinar matahari),
maka itu tidak masalah (Begitu pula jika dia pulang dari masjid). Bahkan jika
dia ikut shalat berjamaah dengan barisan yang rapat, juga tidak masalah.
Walaupun begitu, penulis sepakat bahwa jika definisi kontak
erat di atas terpenuhi, maka protokol kesehatan Covid-19 perlu dijaga. Misalnya
jika memasuki atau mungkin terjadi kerumunan di mana jarak antar orang menjadi
sedemikian dekat, sementara kita perlu berinteraksi dengan orang di situ cukup
lama, maka tentu pertimbangkan untuk bermasker. Bahkan kalau perlu membawa dan
menggunakan perlindungan yang lain, misalnya hand sanitizer jika interaksi
tersebut melibatkan sentuhan, terutama tangan, karena tangan kita pasti kita
pergunakan untuk banyak keperluan.
TETAP HIDUP ATAU MATI SYAHID
Ada satu hal lagi yang jarang dibicarakan saat pandemi ini,
yaitu bahasan mengenai mati terkena wabah. Dikutip dari laman
situs pendis.kemenag.go.id, predikat “Mati Syahid” menunggu bagi pasien
meninggal Covid-19[8]. Ini karena ada hadist Nabi tentang mati
syahidnya orang yang terkena wabah sebagaimana dikutip dari laman
situs almanhaj.or.id lain[9] sebagai berikut:
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ: الْقَتْلُ
فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ شَهَادَةٌ، وَالطَّاعُونُ شَهَادَةٌ، وَالْغَرَقُ
شَهَادَةٌ، وَالْبَطْنُ شَهَادَةٌ، وَالنُّفَسَاءُ يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسُرَرِهِ
إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ: وَزَادَ فِيهَا أَبُو
الْعَوَّامِ سَادِنُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ: وَالْحَرْقُ، وَالسَّيْلُ
“Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
”Sesungguhnya orang yang mati syahid kalau begitu sedikit dari umatku. Orang
yang meninggal di jalan Allah Azza wa Jalla syahid, orang yang terkena tho’un
(wabah) mati syahid, orang yang tenggelam mati syahid, orang yang meninggal
karena sakit dalam perut syahid, orang yang meninggal karena nifas karena
anaknya mengeluarkan ari-arinya menuju ke surga. Berkata, Abu Uwanah menambahi
penunggu Baitul maqdis, orang terbakar dan terkena banjir (tenggelam).”
Ini artinya bahwa bagi umat Nabi Muhammad, orang yang
terkena wabah bisa berharap mati syahid. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika
ada shahabat yang sampai berdoa mati terkena wabah, misalnya Muadz bin Jabal
RA, sebagaimana diceritakan dalam laman
situs lombokpost.jawapos.com. Mati karena wabah memang “mengerikan” tapi
bagi sebagian mukminin merupakan peluang untuk mendapatkan surga, walaupun
tentu tidak harus menjadi pilihan semua orang, dan bahkan penulis sendiri juga
tidak menganjurkan untuk meminta ujian kepada Allah SWT untuk terkena Covid-19.
Tentu bahasan untuk “memilih” mati syahid karena terkena
Covid-19 bukan merupakan bahasan menarik sekarang ini. Tentu saja karena
bahasan tentang protokol kesehatan lebih cenderung dengan tujuan “selamat dan
tetap hidup”, bukannya “sakit dan mati syahid”. Namun penulis perlu
mengingatkan hal ini karena bagaimana pun kematian itu sebenarnya dekat dan
jika Allah SWT tentukan seseorang mati karena wabah, maka seharusnya lah itu
dimaknai dengan benar sehingga kematiannya menjadi kebaikannya dan bahkan
pelajaran bagi orang lain.
Sekedar catatan, sebenarnya sudah demikian banyak kuman yang
bertebaran di muka bumi ini dimana di antaranya merupakan kuman patogen yang
terbukti telah menimbulkan banyak kematian sepanjang waktu, yang di antaranya
lagi bisa menimbulkan kematian yang cepat juga, misalnya sakit DBD, tipes, TBC,
leptospirosis, dan lain-lain. Walaupun tentu tidak dengan maksud mengecilkan
kesedihan dan kehilangan karena kematian akibat Covid-19, tetapi kenapa itu
semua “kurang” diributkan? Mungkin karena sudah dianggap biasa. Sama juga
kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang sudah dianggap biasa walaupun
secara statistik jelas menimbulkan kematian yang banyak bahkan dalam selang
waktu yang singkat sebagaimana dikutip dari laman situs nasional.kompas.com[11]
dan oto.detik.com[12].
SIKAP ORANG BERIMAN
Dalam hadits Nabi disebutkan tentang sikap mukmin yang
menakjubkan sebagaiman dikutip dari laman
situs mqfmnetwork.com[13] berikut:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ
كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya
adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin.
Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan
kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka
yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.”
Keterangan: Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999
dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu.
Sebagai mukmin, kita haruslah mempunyai sikap sabar dan
syukur seperti disebut di atas. Bersyukur sebagaimana mestinya menurut Allah
dan bersabar sebagaimana mestinya pula menurut Allah. Tentu maksud “menurut
Allah” ini mestinya berdasarkan dalil lagi, bukan logika semata kita. Maka dengan
itu, mana-mana yang Allah SWT tentukan terjadi pada kita akan menjadi kebaikan
semata.
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, penulis bisa memberikan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Hadits Nabi Muhammad SAW
tentang larangan menutup mulut ketika shalat merupakan salah satu hadits yang
jarang dibahas, terutama pada masa pandemi Covid-19 ini.
2.
Ada urusan-urusan dalam
agama ini yang tidak bisa begitu saja masuk akal kita tetapi tidak berarti itu
tidak benar. Walaupun urusan-urusan tersebut “menyimpang” dari logika, tapi
harus diyakini bahwa itu benar dan pasti menimbulkan banyak kebaikan, dan bisa
jadi itulah solusi buat kita, walaupun Nabi SAW tidak menyebutkan rincian
kebaikan itu apa saja.
3.
Protokol kesehatan Covid-19
diperlukan, tetapi dalam pelaksanaannya harus disikapi dengan semestinya. Dan
tidak berarti orang yang terlihat “tidak mematuhi” prokes ini, mengabaikannya,
melainkan bisa jadi dia menerapkannya dengan pertimbangan yang logis.
4.
Kematian karena Covid-19
semestinya dipandang secara proporsional menurut agama sehingga menjadi
kebaikan walaupun tidak berarti bahwa kita meminta ujian untuk dimatikan karena
ini.
5.
Mukmin harus bisa bersikap
sabar dan syukur dalam kondisi pandemi ini, tetapi sikap tersebut haruslah
menurut tuntunan dalil Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201002122137-25-553606/lawan-corona-satgas-covid-pakai-jurus-ingatpesanibu
diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:20
[2]
https://almanhaj.or.id/589-dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat.html
diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:23
[3]
https://www.alislamu.com/754/larangan-menutup-mulut-dengan-sesuatu-dalam-shalat/
diakses pada 5 Januari 2021 jam 07:27
[4]
https://muslim.or.id/18714-seandainya-agama-dengan-logika.html
diakses pada 5 Januari 2021 jam 15:23
[5]
https://quran.kemenag.go.id/sura/59
diakses pada 5 Januari 2021 jam 16:07
[6]
https://rumaysho.com/828-sedekah-tidaklah-mengurangi-harta.html
diakses pada 5 Januari 2021 jam 16:29
[7]
https://youtu.be/hmEqb2YOFCg
[8]
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detil&id=11608#.X_RBtPYzbIU
diakses pada 5 Januari 2021 jam 17:40
[9]
https://almanhaj.or.id/15706-apakah-orang-yang-meninggal-dunia-karena-virus-corona-mati-syahid.html
diakses pada 5 Januari 2021 jam 17:45
[10]
https://lombokpost.jawapos.com/opini/22/03/2020/korona-dan-kisah-abu-ubaidah-meminta-mati-sahid-dalam-memerangi-wabah/
diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:01
[11]
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/27/06302191/mahfud-md-kematian-akibat-kecelakaan-lalu-lintas-9-kali-lebih-banyak-dari
diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:45
[12]
https://oto.detik.com/berita/d-4925076/corona-berbahaya-tapi-tahukah-kamu-tiap-hari-70-orang-tewas-kecelakaan-jalan-di-ri
diakses pada 5 Januair 2021 jam 18:46
[13]
http://www.mqfmnetwork.com/sungguh-menakjubkan-keadaan-seorang-mukmin/
diakses pada 5 Januari 2021 jam 18:54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar